Waktu adalah tema basi, tapi bergaullah dengan waktu secara
bijaksana, and you will see the real potential
in you.
Setahun yang lalu saya dimarahi habis-habisan oleh bos saya
karena keterlambatan saya yang “hanya” 30 menit. Kala itu saya baru 5 bulan
tinggal di Jerman. Komentar saya dalam
hati waktu itu, “Kan salah naik bus, masa tega comelin saya? Saya ini baru di
Jerman, mana paham sistem bus di sini.” Alasan demi alasan…
Sebagai orang yang lahir besar di Indonesia, saya tahu betul how to play dengan keterlambatan. Saya
tahu apa yang harus saya katakan, mimik wajah apa yang harus saya tampilkan dan
bahkan jawaban yang akan keluar dari mulut bos saya (atau siapa pun itu, yang
terpaksa harus menunggu kemunculan saya).
Keterlambatan di Indonesia adalah sejenis kelalaian yang
meluncur begitu saja ke sumur toleransi. Dan sayangnya, toleransi berbanding
lurus dengan pembolehan, permisif, keenakan, keterusan, keterbiasaan lantas jadi kebiasaan.
Waktu saya belajar makan roti dan merindukan nasi, proses itu
tidak berjalan begitu lama dan tidak ada tabrak benturnya yang nyata. Saya
makan nasi sebagai menu utama selama 24 tahun berturut-turut, dan beberapa
bulan kemudian saya sudah terbiasa makan roti (dan merindukan nasi). Tidak
semua kisah mengganti kebiasaan bertransformasi secepat itu. Kisah saya
mengganti kebiasaan telat ala Indonesia saya dengan kebiasaan tepat waktu
ternyata mengalami tabrak tubruk jatuh bangun jungkir balik sana-sini. Tidak
segampang menggeser sepiring nasi dengan sekeranjang roti.
Tepat waktu itu disiplin
Bulan-bulan awal saya di Jerman, saya terperangkap iklan di
email saya yang berisi langganan majalah dwi-mingguan. Majalahnya tiba di kotak
pos rumah saya selalu disertai dengan rekening berisi sejumlah uang yang harus
saya transfer. Karena masalah teknis X dan Y yang mana sampai hari ini saya sendiri
tidak ingat dengan jelas lagi apa, saya pun menunda pengiriman uang. Penundaan
di Jerman ternyata dosa besar, sodara-sodara. Malangnya saya tidak tahu itu.
Saya tidak tahu sebelumnya kalau di negara ini sebuah kurun waktu memiliki
konsekuensi yang tidak ampun-ampun. Beberapa hari kemudian saya menerima sebuah
surat dari tim marketing majalah tersebut: denda karena keterlambatan
pembayaran. Di tengah-tengah masalah transfer ini, terjadilah sebuah
ketimpangsiuran: saya kehilangan pekerjaan dan harus pindah rumah. Saya punya
uang di tangan, tapi tidak dalam jumlah yang diminta pihak marketing majalah
itu. Saya tunda lagi pembayarannya. Saat itu saya berada dalam situasi di mana
saya tidak bisa pinjam ke siapa-siapa. Meminjam/meminjamkan uang di Jerman
bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang Jerman. Boro-boro pinjam, teman/kenalan aja nggak punya!
Cukup lama kemudian, alaram kembali berbunyi. Sebuah surat
terlayangkan ke alamat baru saya. Setelah saya buka, pengirimnya pihak
marketing itu lagi. Saya lihat tanggalnya: surat ini sudah “basi”, karena si
tukang pos tentu saja mengantarkannya ke alamat lama saya (mana saya tahu saat
itu kalau di Jerman, setiap kali pindahan alamat harus infokan ke seluruh kerabat
terkait, termasuk mengedit alamat di akun ebay!).
Si penghuni rumah di alamat lama saya cukup baik hati melanjutkan surat
tersebut ke alamat baru saya. Sayangnya karena alasan teknis ini dan itu, surat
tersebut baru mendarat di tangan saya seminggu kemudian—yang artinya lewat
jatuh tempo. Waduh. Saya buka amplopnya, tertera di pojok kanan atas tanggal
pengiriman yang sudah basi sekali. Denda dilipatduakan lagi. Alhasil penulis
membayar 80 Euro untuk majalah yang satu eksemplarnya hanya seharga 2 Euro.
Akhirnya saya kasi tanda cek di lessons of life saya: time is
the real money!
Tepat waktu itu komitmen
Skripsi jenjang sarjana saya memakan waktu berbulan-bulan,
selama setahun. Padahal ketika itu saya punya kesempatan untuk menulisnya dalam
kurun waktu yang lebih singkat. Bagi yang akrab dengan kisah skripsi pasti
paham ini, kecuali bagi mereka yang benar-benar berkomitmen dengan waktu. Oke,
cerita skripsi barangkali skalanya terlalu kampus banget: kecil dan klise. Mari kita lihat skala yang besar: dunia
kerja. Tuntutannya lebih nyata karena kamu digaji dan memiliki posisi.
Kehilangan gaji dan posisi? Siapa yang mau. Posisi-posisi penting dalam sebuah
pekerjaan erat kaitannya dengan bagaimana seorang personil berkomitmen dengan
waktu. Jika dari hal kecil saja tidak bisa bertanggung jawab, bagaimana bisa
dipercayakan tanggung jawab yang lebih besar? Maka dari itu, bergaullah dengan
waktu secara bijaksana, make it as your
friend and all your plans will be under
your control. Pandanglah waktu sebagai sesuatu yang serius, karena jika
tidak agenda kita bisa dibuat pontang panting. Jangan biarkan kalimat “Nanti
saya selesaikan besok saja, kan masih ada waktu.” menjadi akrab di kepala.
Tepat waktu tidak sama dengan
buru-buru
Bus di Jerman hanya berhenti di halte-halte yang telah
ditentukan. Di halte-halte tersebut telah tercantum jadwal-jadwal yang berisi
nomor bis, rutenya, menit kedatangan/keberangkatannya, bahkan berapa menit yang
dibutuhkan si bus untuk sampai ke halte berikutnya. Semuanya sudah jelas, tepat
dan pasti. Beberapa bulan yang lalu penulis berjuang mengikuti aturan main “jam
menit detik” yang serba dihitung ini. Di Jerman bus atau kereta tidak pernah
terlambat semenit pun, jika tidak dikarenakan alasan serius. Bagaimana kalau
kita yang terlambat? Silahkan saja tunggu bus berikutnya. Bagus kalau bus lewat
tiap 15 atau 30 menit… kalau setiap sejam? Bagus kalau menunggu ketika musim
panas…kalau musim salju?
Satu dua kali pernah lah penulis ketelatan, akhirnya harus
mengayuh sepeda sampai ke tempat tujuan. Penulis bahkan pernah bersepeda 30
menit di tengah salju gara-gara ketinggalan bus.
Di kasus lain, gara-gara buru-buru penulis kelupaan karcis…
balik lagi deh ke kos, padahal sudah
di halte. Selalu saja ada yang lupa kalau kita buru-buru: dompet, ATM, payung, lip balm, botol air, dst.
Tepat waktu adalah disiplin. Jangan dikacaukan dengan
buru-buru. Karena maknanya beda jauh. Buru-buru terjadi karena kurangnya
persiapan sedangkan deadline di depan mata. Sedangkan disiplin waktu selalu
diawali dengan persiapan sejak dini dan ketuntasan yang lunas. Buru-buru belum
tentu tepat waktu. Sekalipun tepat waktu, segala sesuatu yang dikerjakan dengan
buru-buru hasilnya kurang matang dan mentah sebelah.
Tulisan tentang waktu ini berlanjut ke Part II :)
Tulisan tentang waktu ini berlanjut ke Part II :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar