Senin, 05 September 2016

Kalau bisa hari ini, kenapa mesti besok: disiplin waktu dan tamparannya (Part I)

Waktu adalah tema basi, tapi bergaullah dengan waktu secara bijaksana, and you will see the real potential in you.
Setahun yang lalu saya dimarahi habis-habisan oleh bos saya karena keterlambatan saya yang “hanya” 30 menit. Kala itu saya baru 5 bulan tinggal di Jerman. Komentar saya dalam hati waktu itu, “Kan salah naik bus, masa tega comelin saya? Saya ini baru di Jerman, mana paham sistem bus di sini.” Alasan demi alasan…
Sebagai orang yang lahir besar di Indonesia, saya tahu betul how to play dengan keterlambatan. Saya tahu apa yang harus saya katakan, mimik wajah apa yang harus saya tampilkan dan bahkan jawaban yang akan keluar dari mulut bos saya (atau siapa pun itu, yang terpaksa harus menunggu kemunculan saya).
Keterlambatan di Indonesia adalah sejenis kelalaian yang meluncur begitu saja ke sumur toleransi. Dan sayangnya, toleransi berbanding lurus dengan pembolehan, permisif, keenakan, keterusan, keterbiasaan lantas jadi kebiasaan.
Waktu saya belajar makan roti dan merindukan nasi, proses itu tidak berjalan begitu lama dan tidak ada tabrak benturnya yang nyata. Saya makan nasi sebagai menu utama selama 24 tahun berturut-turut, dan beberapa bulan kemudian saya sudah terbiasa makan roti (dan merindukan nasi). Tidak semua kisah mengganti kebiasaan bertransformasi secepat itu. Kisah saya mengganti kebiasaan telat ala Indonesia saya dengan kebiasaan tepat waktu ternyata mengalami tabrak tubruk jatuh bangun jungkir balik sana-sini. Tidak segampang menggeser sepiring nasi dengan sekeranjang roti.

Tepat waktu itu disiplin
Bulan-bulan awal saya di Jerman, saya terperangkap iklan di email saya yang berisi langganan majalah dwi-mingguan. Majalahnya tiba di kotak pos rumah saya selalu disertai dengan rekening berisi sejumlah uang yang harus saya transfer. Karena masalah teknis X dan Y yang mana sampai hari ini saya sendiri tidak ingat dengan jelas lagi apa, saya pun menunda pengiriman uang. Penundaan di Jerman ternyata dosa besar, sodara-sodara. Malangnya saya tidak tahu itu. Saya tidak tahu sebelumnya kalau di negara ini sebuah kurun waktu memiliki konsekuensi yang tidak ampun-ampun. Beberapa hari kemudian saya menerima sebuah surat dari tim marketing majalah tersebut: denda karena keterlambatan pembayaran. Di tengah-tengah masalah transfer ini, terjadilah sebuah ketimpangsiuran: saya kehilangan pekerjaan dan harus pindah rumah. Saya punya uang di tangan, tapi tidak dalam jumlah yang diminta pihak marketing majalah itu. Saya tunda lagi pembayarannya. Saat itu saya berada dalam situasi di mana saya tidak bisa pinjam ke siapa-siapa. Meminjam/meminjamkan uang di Jerman bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang Jerman. Boro-boro pinjam, teman/kenalan aja nggak punya!
Cukup lama kemudian, alaram kembali berbunyi. Sebuah surat terlayangkan ke alamat baru saya. Setelah saya buka, pengirimnya pihak marketing itu lagi. Saya lihat tanggalnya: surat ini sudah “basi”, karena si tukang pos tentu saja mengantarkannya ke alamat lama saya (mana saya tahu saat itu kalau di Jerman, setiap kali pindahan alamat harus infokan ke seluruh kerabat terkait, termasuk mengedit alamat di akun ebay!). Si penghuni rumah di alamat lama saya cukup baik hati melanjutkan surat tersebut ke alamat baru saya. Sayangnya karena alasan teknis ini dan itu, surat tersebut baru mendarat di tangan saya seminggu kemudian—yang artinya lewat jatuh tempo. Waduh. Saya buka amplopnya, tertera di pojok kanan atas tanggal pengiriman yang sudah basi sekali. Denda dilipatduakan lagi. Alhasil penulis membayar 80 Euro untuk majalah yang satu eksemplarnya hanya seharga 2 Euro.
Akhirnya saya kasi tanda cek di lessons of life saya: time is the real money!

Tepat waktu itu komitmen
Skripsi jenjang sarjana saya memakan waktu berbulan-bulan, selama setahun. Padahal ketika itu saya punya kesempatan untuk menulisnya dalam kurun waktu yang lebih singkat. Bagi yang akrab dengan kisah skripsi pasti paham ini, kecuali bagi mereka yang benar-benar berkomitmen dengan waktu. Oke, cerita skripsi barangkali skalanya terlalu kampus banget: kecil dan klise. Mari kita lihat skala yang besar: dunia kerja. Tuntutannya lebih nyata karena kamu digaji dan memiliki posisi. Kehilangan gaji dan posisi? Siapa yang mau. Posisi-posisi penting dalam sebuah pekerjaan erat kaitannya dengan bagaimana seorang personil berkomitmen dengan waktu. Jika dari hal kecil saja tidak bisa bertanggung jawab, bagaimana bisa dipercayakan tanggung jawab yang lebih besar? Maka dari itu, bergaullah dengan waktu secara bijaksana, make it as your friend and all your plans will be under your control. Pandanglah waktu sebagai sesuatu yang serius, karena jika tidak agenda kita bisa dibuat pontang panting. Jangan biarkan kalimat “Nanti saya selesaikan besok saja, kan masih ada waktu.” menjadi akrab di kepala.

Tepat waktu tidak sama dengan buru-buru



Bus di Jerman hanya berhenti di halte-halte yang telah ditentukan. Di halte-halte tersebut telah tercantum jadwal-jadwal yang berisi nomor bis, rutenya, menit kedatangan/keberangkatannya, bahkan berapa menit yang dibutuhkan si bus untuk sampai ke halte berikutnya. Semuanya sudah jelas, tepat dan pasti. Beberapa bulan yang lalu penulis berjuang mengikuti aturan main “jam menit detik” yang serba dihitung ini. Di Jerman bus atau kereta tidak pernah terlambat semenit pun, jika tidak dikarenakan alasan serius. Bagaimana kalau kita yang terlambat? Silahkan saja tunggu bus berikutnya. Bagus kalau bus lewat tiap 15 atau 30 menit… kalau setiap sejam? Bagus kalau menunggu ketika musim panas…kalau musim salju?
Satu dua kali pernah lah penulis ketelatan, akhirnya harus mengayuh sepeda sampai ke tempat tujuan. Penulis bahkan pernah bersepeda 30 menit di tengah salju gara-gara ketinggalan bus.
Di kasus lain, gara-gara buru-buru penulis kelupaan karcis… balik lagi deh ke kos, padahal sudah di halte. Selalu saja ada yang lupa kalau kita buru-buru: dompet, ATM, payung, lip balm, botol air, dst.
Tepat waktu adalah disiplin. Jangan dikacaukan dengan buru-buru. Karena maknanya beda jauh. Buru-buru terjadi karena kurangnya persiapan sedangkan deadline di depan mata. Sedangkan disiplin waktu selalu diawali dengan persiapan sejak dini dan ketuntasan yang lunas. Buru-buru belum tentu tepat waktu. Sekalipun tepat waktu, segala sesuatu yang dikerjakan dengan buru-buru hasilnya kurang matang dan mentah sebelah.


Tulisan tentang waktu ini berlanjut ke Part II :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar