Minggu, 04 November 2012

Tarian Saman



Hari itu saya sedang menghadiri sebuah acara di auditorium sebuah universitas yang cukup ternama. Saya salah satu mahasiswa yang duduk di antara ribuan mahasiswa lainnya yang datang untuk menyaksikan sebuah roadshow pendidikan. Saat tiba acara pentas seni, di panggung muncul dua orang, laki-laki dan perempuan. Dari tampilan mereka, jelas mereka akan membawakan tarian Saman yang legendaris itu. Mereka duduk bersimpu agak ke pinggir panggung, dengan posisi tubuh mengesampingi penonton. Betapa tak tahan hati saya ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—ini kali pertama saya menonton tari Saman secara live.
Dua orang tadi menyanyikan syair dalam bahasa Aceh dan lagunya agak bernuansa islami. Seni betul. Budaya dan agama memang bisa bersatu untuk menghasilkan karya seni. Hampir merinding saya. Belum semua bulu kuduk saya berdiri, sejurus kemudian keluarlah sembilan perempuan, dalam pakaian tradisional yang berwarna mencolok, mengambil tempat bersimpuh di tengah-tengah panggung, menghadap kami. Mereka pun mulai menari diiringi deburan tamborin dan syair lagu yang dibawa oleh si ‘sinden’ perempuan. Gerakan mereka sesuai dengan lagu dan musik, makin lama makin cepat, dan jika ada isyarat melambat dari pemusik, mereka pun ikut melambat. Sangat harmonis dan makin lama tak puasnya saya menikmati. Apalagi kalau mereka menepuk tangan mereka dengan sangat cepat, seolah tangan-tangan itu berkejar-kejaran dari lantai, ke paha, ke dada, ke udara… alamak, indahnyo!
Ternyata doa saya terjawab. Tak sampai di sini saja pertunjukkan mereka karena berapa lama kemudian muncul lima orang laki-laki dari belakang panggung dan mengambil tempat duduk di tengah sembilan perempuan tadi yang telah membagi kelompoknya menjadi dua sel, satu di kiri, lainnya di kanan. Lima laki-laki ini, dari tampangnya saja, jelas mereka bukan orang asli sini. Wajah dan rambut mereka lebih tegas, tetapi dengan senyum lebar di masing-masing wajah, seolah ingin menyatu dengan penonton. Tepuk tangan meriah kembali menyambut. Di saat mereka menunjukkan kebolehan mereka sebagai anak muda kreatif dan cinta budaya, bulu kuduk saya sudah tak mau tidur lagi. Mereka tak hanya jago menepuk tangan dengan tempo yang cepat, tapi juga melambai-lambaikan leher mereka sehingga kepala mereka menggelantung di atas lantai dengan rambut yang ikut berayun, menambah seninya pertunjukkan itu. Tak ada satu tepukan pun yang cacat atau keluar dari garis ritme (emangnya tepuk pramuka?). Sumpah sempurna. Di saat rasa bangga saya akan hasanah budaya Indoesia memuncak, tepat di saat itulah sebuah suara dari balik punggung saya meruntuhkan semua kekaguman saya tadi. Begini katanya, hanya dua kata, “Iiiiihhh….Lucuuuu…” Jelas suara ini milik seorang makhluk berjenis kelamin perempuan.
HAAAAHHH??? “Iiiiihhh….Lucuuuu…”??????????? Anda sedang menonton sebuah masterpiece budaya dan kometar Anda adalah “Iiiiihhh….Lucuuuu…”?????????? Ingin rasanya saya berbalik dan memberikan suatu tatapan seperti ‘Halooooo, Mahasiswa!!!’ padanya, tapi saya memilih untuk diam saja. Saya begitu marah sampai konsentrasi saya sempat buyar menonton Tarian Saman yang masih berlangsung. Perempuan ini, perempuan mahasiswa ini, dia pikir dia sedang menonton salah satu konser murahan Cherrybelle apa??? Atau K-POP atau apalah itu namanya… Saya tidak mengerti, dan masih menjadi tanda tanya besar bagi saya, BAGIAN MANANYA DARI TARIAN SAMAN INI YANG IA SEBUT SEBAGAI ‘LUCU’?
Well, yang ingin saya katakan adalah, tidakkah kalian bangga dengan budaya kita? Kalau bukan kita yang mengapresiasi lalu siapa lagi? Apakah tunggu budaya kita dicuri orang dulu, baru kita merasa memiliki budaya tersebut? Bagaimana kita bisa memperkenalkan budaya kita pada orang di luar Indonesia kalau kita saja tidak mengenal budaya kita sendiri? Lebih parah lagi kalau kita mengenalinya, tapi tidak mengindahkannya?? Salah satu contohnya dengan berkomentar “Iiiiihhh….Lucuuuu…” Tidak ada nilai apresiatif apalagi edukatif dari kalimat ini!!! Apa coba maksudnya? Haloooo, sadarkah Anda, Anda sedang menonton salah satu warisan budaya yang diakui dunia dan dilindungi UNESCO? Tidakkah seharusnya Anda mengungkapkan sesuatu yang menyatakan kebanggaan, daripada sekedar berkomentar “Iiiiihhh….Lucuuuu…” ????



Tidak ada komentar:

Posting Komentar