Kamis, 22 November 2012

KELIMA INDRAKU




Suatu ketika, bidadari mandi di sungai seorang diri. Setelah mandi ia menyadari selendangnya telah hilang. Ia tak berani menuduh bahwa ada yang mencurinya karena di sana tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri. Betapa gusar ia. Lewatlah seorang pemuda dan menawarkan bantuan. Ia ingin membantu si makhluk kahyangan malang itu untuk menemukan kembali selendangnya. Namun dengan syarat, budinya harus dibalas dengan mengajarkannya caranya terbang. Selendang berhasil ditemukan, ternyata dibawa arus sungai ke hilir. Sesuai perjanjian, si bidadari mengabulkan permohonan si pemuda. Tapi selendang itu hanya ada satu, maka mau tak mau mereka harus menggunakannya bersama-sama. Semakin tinggi ke langit, angin yang berhembus pun semakin kencang, maka mereka semakin erat berpelukan. Sampai tiba di kahyangan, si pemuda bingung caranya pulang kembali ke bumi. Sang bidadari meminjamkan selendangnya yang satu-satunya itu kepada si pemuda supaya ia bisa pulang dengan selamat. Resikonya, setiap kali sang bidadari ingin pergi ke bumi, ke sungai favoritnya itu, sang pemuda harus menjemputnya, karena selendang itu adalah satu-satunya kendaraannya. Begitu pula kalau sang bidadari ingin kembali ke kahyangan, si pemuda harus mengantarkannya.
Tebak saja, apa yang terjadi selanjutnya…

Kata orang, yang pertama mata. Tapi ini dimulai dari kulit, karena di sanalah letak indraku yang paling kuat. Kulitnya selalu hangat, mencairkan (ia berasal dari negeri matahari, aku dari negeri awan). Epidermi kami saling mendesak, mengoyak-ngoyakkan rambut-rambut halus di permukaan, sampai menuntut ke otot, lagi-lagi rasanya hangat. Siapakah di dunia ini yang akan menolak kehangatan? Justru yang datang dahaga dan kerinduan yang menuntut untuk ditebus, dipuaskan.
Kekasihku adalah seorang pujangga. Ia tak butuh kata-kata untuk bersastra. Ia cukup menatapku, lalu rasanya seperti melampaui cakrawala imajinasi Kahlil Gibran. Kekasihku, ia bukan saja pujangga, tetapi juga penari. Ia menari bersama lidahku, tarian dahaga. Sesekali indraku yang lain menangkap aroma tembakau dari napasnya yang berat dan menjerat, yang memanggil-manggil supaya napasku menyatu ke dasar raganya, jauh ke suatu tempat di dalam dirinya. Indraku yang lain haus akan suaranya dari pangkal tenggorokan. Keseluruhanku merindukannya, bahkan sebelum ia keluar dari keberadaannya dalam laring.
Sekarang ia menguasai seluruh indraku. Aku tak berdaya. Aku berharap bisa melarikan diri lewat indra ke enamku. Tapi sial, aku terlahir normal—bahkan bidadari pun hanya memiliki lima indra. Kini agamaku adalah cinta, dan tuhanku adalah kekasihku. Aku hanyut dalam sistem patriarkhi ini, aku tak peduli.
Dan aku sekarat, jatuh cinta padanya. Meskipun ia akan segera pergi, meninggalkan dunia yang fana ini. Aku tidak bersedih, karena ia tidak pergi untuk sebuah moksa—ia harus menebus dosa yang telah kami berdua perbuat, sekalipun dosa itu terasa sangat manis. Dan bukan dosa namanya kalau tidak nikmat.
Kekasihku, pujanggaku, penariku. Raganya akan mati, terkubur bersama suratku ini. Tapi aku berbahagia, karena ia akan bereinkarnasi, menjadi seorang Buddha. Ia seperti apel: jatuh, mati dan bilamana tiba saatnya, akan mengeluarkan tunas sepuluh kali lipat.
Aku ingin ia tahu, doaku selalu menyertai.

YK, 19 November 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar