Suatu ketika, bidadari mandi di sungai seorang diri. Setelah mandi ia
menyadari selendangnya telah hilang. Ia tak berani menuduh bahwa ada yang
mencurinya karena di sana tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri. Betapa
gusar ia. Lewatlah seorang pemuda dan menawarkan bantuan. Ia ingin membantu si
makhluk kahyangan malang itu untuk menemukan kembali selendangnya. Namun dengan
syarat, budinya harus dibalas dengan mengajarkannya caranya terbang. Selendang
berhasil ditemukan, ternyata dibawa arus sungai ke hilir. Sesuai perjanjian, si
bidadari mengabulkan permohonan si pemuda. Tapi selendang itu hanya ada satu,
maka mau tak mau mereka harus menggunakannya bersama-sama. Semakin tinggi ke
langit, angin yang berhembus pun semakin kencang, maka mereka semakin erat
berpelukan. Sampai tiba di kahyangan, si pemuda bingung caranya pulang kembali
ke bumi. Sang bidadari meminjamkan selendangnya yang satu-satunya itu kepada si
pemuda supaya ia bisa pulang dengan selamat. Resikonya, setiap kali sang bidadari
ingin pergi ke bumi, ke sungai favoritnya itu, sang pemuda harus menjemputnya,
karena selendang itu adalah satu-satunya kendaraannya. Begitu pula kalau sang
bidadari ingin kembali ke kahyangan, si pemuda harus mengantarkannya.
Tebak saja, apa yang terjadi selanjutnya…
Kata orang, yang pertama mata. Tapi
ini dimulai dari kulit, karena di sanalah letak indraku yang paling kuat.
Kulitnya selalu hangat, mencairkan (ia berasal dari negeri matahari, aku dari
negeri awan). Epidermi kami saling mendesak, mengoyak-ngoyakkan rambut-rambut
halus di permukaan, sampai menuntut ke otot, lagi-lagi rasanya hangat. Siapakah
di dunia ini yang akan menolak kehangatan? Justru yang datang dahaga dan
kerinduan yang menuntut untuk ditebus, dipuaskan.
Kekasihku adalah seorang pujangga. Ia
tak butuh kata-kata untuk bersastra. Ia cukup menatapku, lalu rasanya seperti
melampaui cakrawala imajinasi Kahlil Gibran. Kekasihku, ia bukan saja pujangga,
tetapi juga penari. Ia menari bersama lidahku, tarian dahaga. Sesekali indraku
yang lain menangkap aroma tembakau dari napasnya yang berat dan menjerat, yang
memanggil-manggil supaya napasku menyatu ke dasar raganya, jauh ke suatu tempat
di dalam dirinya. Indraku yang lain haus akan suaranya dari pangkal
tenggorokan. Keseluruhanku merindukannya, bahkan sebelum ia keluar dari
keberadaannya dalam laring.
Sekarang ia menguasai seluruh indraku.
Aku tak berdaya. Aku berharap bisa melarikan diri lewat indra ke enamku. Tapi
sial, aku terlahir normal—bahkan bidadari pun hanya memiliki lima indra. Kini
agamaku adalah cinta, dan tuhanku adalah kekasihku. Aku hanyut dalam sistem
patriarkhi ini, aku tak peduli.
Dan aku sekarat, jatuh cinta padanya.
Meskipun ia akan segera pergi, meninggalkan dunia yang fana ini. Aku tidak
bersedih, karena ia tidak pergi untuk sebuah moksa—ia harus menebus dosa yang
telah kami berdua perbuat, sekalipun dosa itu terasa sangat manis. Dan bukan dosa namanya kalau tidak nikmat.
Kekasihku, pujanggaku, penariku.
Raganya akan mati, terkubur bersama suratku ini. Tapi aku berbahagia, karena ia
akan bereinkarnasi, menjadi seorang Buddha. Ia seperti apel: jatuh, mati dan
bilamana tiba saatnya, akan mengeluarkan tunas sepuluh kali lipat.
Aku ingin ia tahu, doaku selalu
menyertai.
YK, 19 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar