Senin, 07 Januari 2019

You are Not What You Think: Mindfulness



Belakangan ini tema Mindfulness sangat kerap dibahas di media. Janjinya banyak. Orang bisa menjadi bahagia dan stabil secara emosional, bebas cemas, damai batin dan pikir, dsb. Sama seperti yoga dan meditasi, semua orang tiba-tiba bisa yoga untuk bisa diposting di feed dan story Instagram mereka. Sama halnya dengan Mindfulness: Itu hanya trend! Ciprat mereka. Banyak orang menanggapi ini dengan skepsis: Masakan hanya dengan menjadi sadar saya bisa mendapatkan kualitas-kualitas rohani itu.
https://es.dreamstime.com/stock-de-ilustraciĆ³n-el-optimismo-del-mindfulness-relaja-harmony-concept-image78549000
Jangan kabur dulu, kamu tidak perlu harus jadi biksu atau guru atau memiliki level spiritual yang tinggi untuk bisa mempraktekkan Mindfulness. Kita pakai Bahasa Indonesia saja ya, KESADARAN, supaya tidak terasa ideologi ini barat. Sama sekali tidak, kenyataannya adalah manusia asal manapun telah mempraktekkan satu dua butir dari konsep kesadaran berpikir ini tanpa mereka sadari suatu hari nanti akan dikaji sebuah bidang psikologi bernama kesadaran. Saya juga menulis ini karena saya mau berbagi pengalaman dan bahwa betapa esensialnya kesadaran itu dalam kehidupan kita sehari-hari!

Ini memang tema yang besar sementara saya hanya ingin menulis sebanyak sebuah mangkok. Dan saya tidak tahu bagaimana memadatkan air sesamudera ke dalam sebuah mangkok. Intinya, konsep Kesadaran itu memiliki cakupan yang luas. Di sini saya hanya ingin membahas satu topik kecil rantingnya: kamu bukanlah apa yang kamu pikirkan. Kenapa saya terdampar ke tema ini? Saya sering memikirkan sesuatu yang berefek membuat saya gelisah dan tidak bahagia. Bukan itu saja, saya jadi sedih dan berujung menarik diri karena pengkritik internal saya memvonis hal-hal yang padahal bukan fakta dijadikan fakta. Lantas dua tahun yang lalu saya berkenalan dengan konsep ini dan sejak saat itu saya merasa sangat sangat terbantu. Jadi ini memang bukan trend ya, kalo kata itu sempat terhinggap di benak kalian.

Pernahkah kamu melempar pertanyaan secara sadar ke pikiranmu seolah-olah dalam dirimu dihuni oleh dua orang yang berbeda? Pernahkah kamu mengamati pikiranmu sepeti mengamati lalu lintas di jalan: ada mobil si pejabat melaju ke selatan, ada Kawasaki yang ugal-ugalan, angkot ngebut ke utara, ada truk yang sopirnya ngantuk, ada macet di lampu merah, klakson di sana-sini, dan kamu berdiri di atas awan sambil mengamati setiap detail. Dan hanya mengamati. Bayangkan keadaan tadi adalah analogi situasi di pikiranmu. Dan kamu hanya mengamati. Rasanya aneh bukan? Tentu saja, karena kita tidak terbiasa mengamati pikiran kita. Kita cenderung mengalir bersama apa yang sedang kita pikirkan. Kita cenderung meluncur, menanjak, menurun dan menikung seirama dengan alirannya, sehingga kita kerap menyangka kita dan pikiran kita adalah satu. Adalah identik. Lama-kelamaan kamu berpikir pikiranmu mendefinisikan siapa kamu. Padahal tidak. Kenyataannya, you are not what you think. Secara kita manusia memiliki kemampun berpikir, tentu kita telah dan selalu memikirkan banyak hal yang baik maupun yang buruk, tetapi hal-hal ini tadi tidak membatasi siapa kita. Kenapa begitu? Karena yang selama ini kita kira siapa kita ternyata hanyalah sebatas sugesti tentang „siapa kita“. Siapa yang mensugesti? Otak kita. Pikiran kita. Jika sugesti itu bagus, tilik dan ambil, masalahnya tidak jarang sugesti itu justru jelek. Saya bicara dari pengalaman sendiri. Bahkan orang baik pun bisa memikirkan hal-hal yang tidak baik. Setuju? Saya rasa saya bukan satu-satunya di dunia ini. Saya memiliki rasa takut, cemas yang berlebihan, cemburu, iri, merasa tidak layak mendapatkan sesuatu, merasa tidak dicintai, merasa diri tidak cukup dan tidak diperhatikan oleh orang terdekat. Suatu ketika saya baca sebuah artikel yang menyarankan saya, „Bayangkan pikiranmu adalah lawan bicara internalmu, perhatikan apa yang sedang dia pikirkan dan tanyalah dia seperti seorang lawan bicara. Tanya, apa yang sedang dia pikirkan sekarang, meskipun kamu sudah tahu dia sedang pikir apa. Lantas tanya kenapa dia memikirkan itu. Tapi jangan terjerat dengan argumennya, tarik diri dan bersikap netral. Perlakukan pikiranmu seperti sesosok orang, arahkan itu ke dalam dialog.“ Ini memang terdengar gampang, tapi tricky! Mencoba itu bagi saya awalnya sangat sangat susah untuk menarik diri dari pikiran saya. Saya terus-menerus mengidentikkan diri dengan pikiran saya. Pikiran saya seperti sebuah lubang hitam, menyedot menuju ketidakterbatasan! Saya hampir selalu ditarik dan dibuat percaya dengan hipotesis-hipotesisnya.
Contoh dialog kami yang gagal:
Pikiran saya: „Bos kamu tidak menyukai kamu“                                                                   Saya: „Ok, kenapa?“
Pikiran saya: „Dia tidak balas menyapa kamu kemarin pagi, padahal kamu sudah sangat ramah.“
Saya: „Ya, benar, tapi mungkin dia kurang tidur.“
Pikiran saya: „Tapi minggu lalu juga begitu.“
Saya: „Mungkin dia kurang sex.“
Pikiran saya: „Tapi uang natal kamu juga tidak dia bayar.“                                        Saya: „Iya, padahal si Andrea yang suka alpa saja dikasih.“

Gagal total. Ujung-ujungnya saya sepakat dengan apa yang tadi pikiran saya pikirkan. Oh, iya yah, berarti dia tidak suka saya…

Menurut artikel yang saya baca itu, sekalipun si bos ini menunjukkan ciri-ciri seolah-olah tidak menyukai saya, saya tidak boleh menganggap itu sebagai fakta. Karena saya hanya menduga, mengira, merasa, menganalisis, menghipotesis dan itu semua masih jauh dari FAKTA. Kecuali si bos ini buka mulut dan bilang, „Saya tidak suka Anda, Fr. Ambon.“ Milikilah kemampuan untuk membedakan fakta dari pendapat.

Hal yang sama saya coba untuk implementasikan jika pikiran saya sedang memikirkan apakah pacar saya benar-benar mencintai saya. Nah, secara di dalam otak, lokasi di mana pikiran beroperasi, terdapat juga gudang memori, pikiran saya suka iseng mencari di antara tumpukkan yang berserakkan itu apakah ada keping-keping puzzel yang bisa dia jadikan barang bukti. Dari dialog di atas, bisa kita lihat keping-keping puzzel yang dia berhasil kumpulkan (dan dia selalu nemu!) adalah: „Tapi minggu lalu juga begitu.“ Dan „Tapi uang natal kamu juga tidak dia bayar.“ Zak! Puzzel terlengkapi dan kita pun percaya dengan apa yang tadinya sebenarnya hanya praduga, sekarang jadi fakta. Fakta pribadi.

Besok-besok kalau pikiranmu memikirkan sesuatu yang seperti itu tadi di atas, jawab saja, „Oh, begitu yah? Aha?“.

Ini bukan berarti mulai sekarang apa yang kamu pikirkan itu hanyalah sugesti dan tidak nyata dan tidak boleh dipercayai ya, tetapi agar kamu lebih saksama dan hati-hati dalam bergaul dengan pikiranmu. Kuncinya letakkan jarak di antara dirimu dan pikiranmu, jadikan pikiranmu sebuah bidang amatan, dan tempatkan dirimu sebagai pengamat. Ya benar, tarik diri secara sadar! Amati saja, cukup, no judgement.

Tarik diri bukan dalam pengertian acuh dan mengabaikan! Makanya saya tambahkan „secara sadar“ di belakangnya. Bukan berarti mulai sekarang kamu tutup mata dan telinga dengan apa yang kamu lihat. Justru sebaliknya, semakin jeli melihat, selami secara sadar, dan secara sadar pula menarik diri dari penarikkan kesimpulan. Inilah inti dari Mindfulness. Suatu keadaan di mana kamu dengan segenap indramu melihat, mengamati, mendengar, merasakan, menghirup, meresapi segala yang aktual di sekitarmu tanpa berusaha menilai. No judgment. Hanya karena si bos tidak menyapa, bukan berarti dia menganggap anda tidak simpatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar