Belakangan ini tema Mindfulness sangat kerap dibahas di
media. Janjinya banyak. Orang bisa menjadi bahagia dan stabil secara emosional,
bebas cemas, damai batin dan pikir, dsb. Sama seperti yoga dan meditasi, semua
orang tiba-tiba bisa yoga untuk bisa diposting di feed dan story Instagram
mereka. Sama halnya dengan Mindfulness:
Itu hanya trend! Ciprat mereka. Banyak orang menanggapi ini dengan skepsis: Masakan
hanya dengan menjadi sadar saya bisa mendapatkan kualitas-kualitas rohani itu.
Jangan kabur dulu, kamu tidak perlu
harus jadi biksu atau guru atau memiliki level spiritual yang tinggi untuk bisa
mempraktekkan Mindfulness. Kita
pakai Bahasa Indonesia saja ya, KESADARAN, supaya tidak terasa ideologi ini
barat. Sama sekali tidak, kenyataannya adalah manusia asal manapun telah mempraktekkan
satu dua butir dari konsep kesadaran berpikir ini tanpa mereka sadari suatu
hari nanti akan dikaji sebuah bidang psikologi bernama kesadaran. Saya juga menulis
ini karena saya mau berbagi pengalaman dan bahwa betapa esensialnya kesadaran
itu dalam kehidupan kita sehari-hari!
Ini memang tema yang besar sementara saya
hanya ingin menulis sebanyak sebuah mangkok. Dan saya tidak tahu bagaimana
memadatkan air sesamudera ke dalam sebuah mangkok. Intinya, konsep Kesadaran
itu memiliki cakupan yang luas. Di sini saya hanya ingin membahas satu topik
kecil rantingnya: kamu bukanlah apa yang kamu pikirkan. Kenapa saya terdampar
ke tema ini? Saya sering memikirkan sesuatu yang berefek membuat saya gelisah
dan tidak bahagia. Bukan itu saja, saya jadi sedih dan berujung menarik diri
karena pengkritik internal saya memvonis hal-hal yang padahal bukan fakta
dijadikan fakta. Lantas dua tahun yang lalu saya berkenalan dengan konsep ini
dan sejak saat itu saya merasa sangat sangat terbantu. Jadi ini memang bukan trend
ya, kalo kata itu sempat terhinggap di benak kalian.
Pernahkah kamu melempar pertanyaan
secara sadar ke pikiranmu seolah-olah dalam dirimu dihuni oleh dua orang yang
berbeda? Pernahkah kamu mengamati pikiranmu sepeti mengamati lalu lintas di
jalan: ada mobil si pejabat melaju ke selatan, ada Kawasaki yang ugal-ugalan, angkot
ngebut ke utara, ada truk yang sopirnya ngantuk, ada macet di lampu merah,
klakson di sana-sini, dan kamu berdiri di atas awan sambil mengamati setiap
detail. Dan hanya mengamati. Bayangkan keadaan tadi adalah analogi situasi di
pikiranmu. Dan kamu hanya mengamati. Rasanya aneh bukan? Tentu saja, karena
kita tidak terbiasa mengamati pikiran kita. Kita cenderung mengalir bersama apa
yang sedang kita pikirkan. Kita cenderung meluncur, menanjak, menurun dan
menikung seirama dengan alirannya, sehingga kita kerap menyangka kita dan
pikiran kita adalah satu. Adalah identik. Lama-kelamaan kamu berpikir pikiranmu
mendefinisikan siapa kamu. Padahal tidak. Kenyataannya, you are not what you think. Secara kita manusia memiliki kemampun
berpikir, tentu kita telah dan selalu memikirkan banyak hal yang baik maupun
yang buruk, tetapi hal-hal ini tadi tidak membatasi siapa kita. Kenapa begitu?
Karena yang selama ini kita kira siapa kita ternyata hanyalah sebatas sugesti
tentang „siapa kita“. Siapa yang mensugesti? Otak kita. Pikiran kita. Jika
sugesti itu bagus, tilik dan ambil, masalahnya tidak jarang sugesti itu justru
jelek. Saya bicara dari pengalaman sendiri. Bahkan orang baik pun bisa
memikirkan hal-hal yang tidak baik. Setuju? Saya rasa saya bukan satu-satunya di
dunia ini. Saya memiliki rasa takut, cemas yang berlebihan, cemburu, iri, merasa
tidak layak mendapatkan sesuatu, merasa tidak dicintai, merasa diri tidak cukup
dan tidak diperhatikan oleh orang terdekat. Suatu ketika saya baca sebuah
artikel yang menyarankan saya, „Bayangkan pikiranmu adalah lawan bicara
internalmu, perhatikan apa yang sedang dia pikirkan dan tanyalah dia seperti
seorang lawan bicara. Tanya, apa yang sedang dia pikirkan sekarang, meskipun
kamu sudah tahu dia sedang pikir apa. Lantas tanya kenapa dia memikirkan itu. Tapi
jangan terjerat dengan argumennya, tarik diri dan bersikap netral. Perlakukan pikiranmu
seperti sesosok orang, arahkan itu ke dalam dialog.“ Ini memang terdengar
gampang, tapi tricky! Mencoba itu bagi
saya awalnya sangat sangat susah untuk menarik diri dari pikiran saya. Saya
terus-menerus mengidentikkan diri dengan pikiran saya. Pikiran saya seperti sebuah
lubang hitam, menyedot menuju ketidakterbatasan! Saya hampir selalu ditarik dan
dibuat percaya dengan hipotesis-hipotesisnya.
Contoh dialog kami yang gagal:Pikiran saya: „Bos kamu tidak menyukai kamu“ Saya: „Ok, kenapa?“
Pikiran saya: „Dia tidak balas menyapa kamu kemarin pagi, padahal kamu sudah sangat ramah.“
Saya: „Ya, benar, tapi mungkin dia kurang tidur.“
Pikiran saya: „Tapi minggu lalu juga begitu.“
Saya: „Mungkin dia kurang sex.“
Pikiran saya: „Tapi uang natal kamu juga tidak dia bayar.“ Saya: „Iya, padahal si Andrea yang suka alpa saja dikasih.“
Gagal total. Ujung-ujungnya saya sepakat
dengan apa yang tadi pikiran saya pikirkan. Oh,
iya yah, berarti dia tidak suka saya…
Menurut artikel yang saya baca itu, sekalipun
si bos ini menunjukkan ciri-ciri seolah-olah tidak menyukai saya, saya tidak
boleh menganggap itu sebagai fakta. Karena saya hanya menduga, mengira, merasa,
menganalisis, menghipotesis dan itu semua masih jauh dari FAKTA. Kecuali si bos
ini buka mulut dan bilang, „Saya tidak suka Anda, Fr. Ambon.“ Milikilah kemampuan
untuk membedakan fakta dari pendapat.
Hal yang sama saya coba untuk implementasikan
jika pikiran saya sedang memikirkan apakah pacar saya benar-benar mencintai
saya. Nah, secara di dalam otak, lokasi di mana pikiran beroperasi, terdapat
juga gudang memori, pikiran saya suka iseng mencari di antara tumpukkan yang
berserakkan itu apakah ada keping-keping puzzel yang bisa dia jadikan barang bukti.
Dari dialog di atas, bisa kita lihat keping-keping puzzel yang dia berhasil
kumpulkan (dan dia selalu nemu!) adalah:
„Tapi minggu lalu juga begitu.“ Dan „Tapi uang natal kamu juga tidak dia bayar.“
Zak! Puzzel terlengkapi dan kita pun percaya dengan apa yang tadinya sebenarnya
hanya praduga, sekarang jadi fakta. Fakta pribadi.
Besok-besok kalau pikiranmu
memikirkan sesuatu yang seperti itu tadi di atas, jawab saja, „Oh, begitu yah?
Aha?“.
Ini bukan berarti mulai sekarang apa
yang kamu pikirkan itu hanyalah sugesti dan tidak nyata dan tidak boleh
dipercayai ya, tetapi agar kamu lebih saksama dan hati-hati dalam bergaul
dengan pikiranmu. Kuncinya letakkan jarak di antara dirimu dan pikiranmu,
jadikan pikiranmu sebuah bidang amatan, dan tempatkan dirimu sebagai pengamat.
Ya benar, tarik diri secara sadar! Amati saja, cukup, no judgement.
Tarik diri bukan dalam pengertian
acuh dan mengabaikan! Makanya saya tambahkan „secara sadar“ di belakangnya.
Bukan berarti mulai sekarang kamu tutup mata dan telinga dengan apa yang kamu
lihat. Justru sebaliknya, semakin jeli melihat, selami secara sadar, dan secara
sadar pula menarik diri dari penarikkan kesimpulan. Inilah inti dari Mindfulness. Suatu keadaan di mana kamu
dengan segenap indramu melihat, mengamati, mendengar, merasakan, menghirup,
meresapi segala yang aktual di sekitarmu tanpa berusaha menilai. No judgment. Hanya karena si bos tidak
menyapa, bukan berarti dia menganggap anda tidak simpatis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar