Kamis, 10 Januari 2019

Apa Kabar Praha: Anekdot Solo Trip

Seperti yang sudah saya sebutkan pada bagian pertama tentang Solo Trip ini, saya anti wisata pernah. Saya lebih suka berada dalam „Sekarang dan Di sini“, jadi saya tidak kejar tayang. Saya tidak ngebut harus ke sini atau ke situ pada hari Satu, hari dua dan hari tiga. Definisi trip saya hampir mirip dengan ziarah. Jadi, bukan tentang mencentang berapa gedung yang sudah saya potret, dan berapa yang belum, tetapi apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan ke mana memori saya memanggil ketika saya melihat sesuatu, mengamati sesuatu. It is all about me! Bagaimana suatu Scene melepaskan reaksi psikologis dalam saya dan bermain-main dengan indra dan rasa saya. Bagaimana itu menginspirasi dan menggugah saya, bagimana itu membuat saya bertanya dan jawabannya adalah pertanyaan juga. Itu yang saya cari.
Saya membiarkan diri saya terbawa arus. Dalam kesadaran dan kendali, karena saya inginkan arah, ke mana itu, saya belum tahu, lha makanya saya jalan-jalan sendiri untuk bertemu pintu-pintu yang baru. Maaf ya, mbak-mbak dan mas-mas, kalau saya terdengar rada spiritual. Aliran saya memang demikian, easy life is boring.
Saya tidak terbangun suatu pagi dan memutuskan untuk menggeledah isi dunia di luar sana. Saya memutuskan secara sadar, dan saya sudah tunggu seabad lamanya sampai mimpi itu matang untuk dipetik. Sehingga saya tidak ingin mendoktrin siapa pun yang membaca halaman ini, tidak pula menyalahkan mereka yang lebih suka travelling dengan teman atau pacar atau hewan…
Saya melihat dinding-dinding yang tidak kasat mata di sekeliling saya, seolah-olah gerak-gerik kita sudah terdefinisi, tapi intuisi saya selalu tahu, ada batas-batas yang memang bisa ditembus…Tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis. Tidak hanya melintasi batas wilayah, tetapi juga menjejaki batas-batas dalam perspektif, dalam sudut pandang, dalam horison, cakrawala berpikir kita, dan terutama, bagaimana cara kita mamandang ke dalam diri…
Praha
Awal Summer 2018. Itu pertama kalinya saya meninggalkan sarang saya untuk keluar negeri. Dengan excited saya membooking dua hostel yang berbeda karena alasan budget dan ketersediaan waktu. Tadinya saya pikir itu ide bagus.
Satu malam sebelum check out hostel yang pertama saya iseng mencari alamat hostel berikutnya, ternyata letaknya hanya beberapa blok dari tempat saya menginap. Google Map menavigasikan saya ke sebuah hotel berbintang 3 (garuk kepala bingung: yang saya booking itu hostel) setiap kali saya mengklik peta dalam profil hostel yang ingin saya tuju itu. Sedikit tidak percaya: masakan mungkin dengan 14 Euro saya bisa dapat sesuatu di sana, mentok-mentok sebuah bantal di atas lantai, di koridor menuju dapur, itu pun kalau boleh!
Sedangkan dengan 17 Euro saja saya hanya bisa mendarat di sebuah hostel dan harus berbagi kamar dengan 15 orang asing lainnya, dalam tempat tidur tingkat, semuanya terhuni, kamar mandi cuma satu! Bahkan dulu di asrama Katolik Syuradikara, kami hanya ber enam sekamar! Hostel kedua saya ini menjanjikan kamar dan tempat tidur untuk sendiri! Harganya hanya 14 Euro pula! Saya hampir ngiler dibuatnya.
Topografi Praha sedikit bergelombang, saya yang berasal dari Kupang, Ende, Jogja dan Hamburg, tidak mengenal ini. Saya tidak terbiasa menaiki dan menuruni jejalanan. Saya harus mendaki untuk tiba di hotel berbintang tiga itu. Layaknya gedung-gedung di kota-kota di Eropa, hotel itu tidak berdiri seorang diri, melainkan saling menempel berjejeran dengan gedung-gedung lain, yang saya bisa lihat hanyalah fasadnya. Sebuah umbul-umbul hampir sama tingginya berkibar memisahkan batas dindingnya dengan dinding tetangga, tercetak nama hotel tersebut, tebal. Saya melangkah melewati lobi menuju konter, bertanya apakah ini alamat mereka, sambil menunjukkan alamat yang saya screenshot dari profil si hostel di Airbnb. „Tidak, alamat yang Anda cari letaknya di suatu tempat di belakang hotel ini, jalannya menurun. Hati-hati“ Kenyataannya jalan itu memang terlalu curam untuk… sepatu berhak saya dan kaum jompo dengan rollator. Setelah tersesat beberapa kali dan bertanya arah selusin kali, saya pun tiba di depan sesuatu yang tidak menyerupai hostel maupun hotel. Saya telpon si pemilik hostel, „Kenapa saya tidak melihat papan nama hostel Anda?“
„Tidak ada papan nama,“ sahut suara di seberang, seolah-olah itu normal: hostel tanpa papan nama.
„Mana pintumu? Saya ingin bicara dengan resepsionis!“ desak saya.
„Tidak ada resepsionis, saya sekeluarga juga tidak tinggal di sana“ jawabnya santai. Mulut saya menganga.
OK, saya kenal beberapa orang yang menyewakan apartemen mereka pada saat weekend, sementara mereka hengkang ke tempat pacar atau orang tua: „Sambil Rileks-Berendam-Minum Cappucino-Selfie, uang mengalir ke kantong kasir“, bunyi moto mereka. Tapi saya keliru total! Suara di hape saya menginstruksikan saya untuk melangkah beberapa meter ke samping, sampai saya menemukan sebuah pintu dicat kuning yang ada poster Kodaknya. Lewat kaca pintu itu saya berusaha mengintip, tapi susah karena gelap. Saya berani sumpah, apa pun yang ada di dalam sana, tidak bisa dibandingkan secuil pun dengan sebuah hostel.
 „Datang saja besok kalau mau check in, jam 9 kan? Nanti saya telpon tepat waktu. Tapi sekarang kamu sudah tahu di mana pintu masuknya! Bye!“ tutupnya meninggalkan alarm buruk di kepala saya! Kembali ke hostel dengan perasaan tidak aman malam itu.
Keesokannya petualangan Jumanji dimulai! Saya ditelpon tepat jam 9, saya barusan check out dan berpisah dengan 16 dipan tingkat.
„Bagaimana saya bisa masuk kalau tidak ada resepsionis dan kamu tidak tinggal di sini?“ saya hampir mengucapkan itu dalam teriakan.
Instruksi berikut yang saya dapat; saya hampir pikir saya tuli. „Pergi ke pintu sebelah (tetangga), di sampingnya ada beberapa kotak surat, cari yang namanya XXX (saya samarkan), coba buka pintunya, kalau susah ditinju saja. Kunci kamarmu ada di dalam sana.“ Mulut saya sekarang sudah kemasukan lalat!
Dia benar, saya harus tinju untuk membuka kotak surat rongsokan itu! Dengan kunci itu saya berhasil masuk ke sesuatu yang dijanjikan sebagai hostel. Saya melangkah di antara penasaran dan enggan, sesuatu dalam diri saya tahu, saya tidak akan suka dengan apa yang akan saya lihat. Kini alarm di kepala saya tidak lagi memukul seperti gong, melainkan membisu dan saya hampir menangis.
„Hallo?“ Ternyata kami masih terhubung. Saking shocknya saya tidak sadari hape saya masih menempel di telinga.
„Mana kamar saya?“ Tanya saya membeku di dalam sebuah studio foto, yang dia iklankan di Airbnb sebagai hostel.
„Itulah kamarmu.“ Nadanya seperti tanpa dosa. Sepertinya ini bukan kali pertama dia berbohong tentang akomodasi ini.
„Mana tempat tidurnya?“ Saya tentu bukan satu-satunya korban penipuan.
„Coba tengkok ke atas.“ Saya melakukan yang disuruh. Dan tempat tidur itu melayang di antara atap dan lantai, tepat di atas kepala saya.
„Bagaimana saya bisa sampai ke atas?“ Tanya saya pasrah.
„Di ruangan sebelah ada tangga portabel.“ Tutornya dengan nada yang sangat terlatih dan sangat biasa seolah-olah nasib saya saat ini sedang sangat luar biasa prima.
Singkat kata, apa pun yang saya singkap di sana hanyalah berita dan mimpi buruk. Itu ternyata adalah studio foto, tempat si pemilik „hostel“ bekerja. Sebuah mesin pencetak raksasa bernaung di sudut ruangan, di antara tumpukan kertas. Di dinding-dindingnya, baik di ruang depan maupun ruang belakang menuju toilet, terpampang foto-foto hitam putih dari awal tahun 1900 (wtf!), ada yang posenya malah close up sehingga saya merasa di mana pun saya berdiri, rasa-rasanya mereka sedang menatap saya. Sial!!! Saat saya mencari kamar mandi, saya malah hanya menemukan sebuah toilet dengan tisu yang sepertiganya sudah terpakai. Tidak ada air hangat di wastafel. Kasur yang saya tiduri tidak berselimut dan sepreinya tidak diganti. Welcome to…Prague! Saya tidak hanya tidak bisa mandi, saya juga akan tidak bisa tidur!!! Setelah seharian menikmati Praha dan lagi-lagi tersesat, malamnya saya kembali ke gubuk Kodak saya untuk ganti baju, selanjutnya saya akan menghadiri pertemuan para Couchsurfers di sebuah taman di tepi bukit. Dengan begitu, hari saya akan menjadi lebih sedikit menyedihkan. Dari taman itu tadi orang bisa melihat seluruh kota Praha dan pemandangannya luar biasa indah. Sesampai saya di sana, ternyata saya bukan saja menjadi sedikit rileks, melainkan mendapatkan malam yang luar biasa menyenangkan dan mengumpulkan kontak, dengan beberapa di antaranya masih saling bertukar kabar sampai hari ini.
Airbnb Vs Couchsurfing
Itu terjadi pada hari kedua, pada hari yang pertama saya dikonfrontasikan dengan ngoroknya sang tetangga dipan dan toilet yang rusak; dan hari ke tiga, sekaligus hari terakhir saya hengkang dari gubuk kodak, dihadapkan dengan bateri hape yang mati dan dengan last-minute-request, saya kabur ke rumah Pavel, Host dari Couchsurfing yang baik hati dan membagikan saya sepenggal fase hidupnya yang sangat inspiratif.
Offline is Luxus?
Saya baru tahu kalau saya tidak tahu cara bergaul baik dengan dunia digital maupun analog.
Peta darurat di tangan saya yang saya cabut dari konter hostel saya, pasti sudah menertawakan saya sejak tadi kalau dia bisa bersuara. Saya tersesat bertubi-tubi. Ternyata saya manusia yang tidak hanya vintage dan konvensional, tetapi juga gaptek. Menyedihkan. Saya pikir saya harus menjalani hubungan yang serius dengan teknologi!! 
Kesepian=terapi
Bohong kalau saya bilang kamu tidak akan kesepian, terutama jika solo trip mu lebih dari 4 hari. Memang akan ada momen di mana kesepian muncul, tetapi justru ini bagus; kamu dikonfrontasikan dengan hal-hal tak terduga, dalam kasus ini kesepian. Menengok ke belakang, dalam keseharianmu di kos/flat, kesepian kau tepis dengan cara kabur ke/bersama teman untuk nogkrong misalnya.  (Yang saya baca nih: kita memang seringya mencari kebahagiaan dalam diri orang lain; itu tidak bagus: sampai kapan ketergantungan ini?). Lantas kenapa manusia takut dengan kesepian? Atau selalu menghindarinya? Gampang, karena ia melepas pelatuk ketidakpastian dan keraguan dalam diri kita. Nah, Solo Trip mengajarkan kita bagaimana cara bergaul dengannya.
Mau terlihat menarik di Instagram?
Orang solo travelling itu kalau bukan foto sebuah objek tanpa dirinya, ya foto di depan apa pun yang bisa memantulkan bayangannya sendiri. Terjemahannya, saya tidak perlu membuat teman seperjalanan saya menderita hanya karena saya ingin terlihat menarik di Instagram. Boro-boro saya memanfaatkan kehadiran teman, yang ada saya malah sangat berterima kasih atas kehadiran orang-orang asing yang menunjukkan saya arah dan jalan saat saya desorientasi. Saat itulah saya benar-benar sadar betapa beruntungnya saya, dan bahwa kebaikan manusia tidak otomatis harganya. Tidak lagi anggap enteng bantuan orang! 
Perempuan, sendiri, asing.
Ketika saya cerita ke kolega-kolega di tempat kerja; hendak travel ke Praha solo, saya dapat pelototan. Tanpa membiarkan spekulasi menghantui pikiran, dengarkan suara hati. Intuisi. Jika kamu mendengar alarm berbunyi di suatu tempat dalam hatimu, pasang telinga baik-baik. Manusia dikaruniai firasat. Gunakan dengan bijaksana. Apa pun yang kamu lakukan, lakukanlah dengan kesadaran dan tanggung jawab; merujuk ke tiga kata yang saya cetak tebal di atas. Kalau memang perlu, tunjukkan batasmu. Universum ini kurang lebih adalah cerminnya kita, tapi yang namanya sial tidak ada hubungannya dengan apakah seseorang baik atau tidak ya. Emang kalian pernah lihat orang baik hidupnya melulu tanpa apes? Apes itu seperti KFC, ada di mana-mana! Mengantisipasi ini, kita hanya bisa jeli melihat dan perhatian, awas lalai. Live for the moment, tanpa perlu Paranoia.
Yang ingin saya katakan adalah, sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya ingin bercerita tentang anekdot dari masa kecil saya di kampuang kito nun jauh di mato…Ada tips di balik itu. Kalau ada orang asing di hostel atau stasiun kereta atau di tikungan jalan yang baru kamu temui dan baru bicara dua menit, bertanya, „Baru pertama kali di sini?“
Apa jawabanmu?!

Berbohong !!!!!
                                                                    ∞ ∞
Pada suatu sore yang teduh yang sering dipakai untuk tidur siang di desa saya—awal tahun 1990— kakak saya Erik beranjak menuju pintu, mengikuti sebuah suara mengetuk. Kakak-kakak saya (termasuk saya di kemudian hari, yang saat itu masih bayi) adalah pemberontak anti tidur siang.
Erik tidak membuka pintu, tapi malah mengintip lewat jendela kaca nako yang letaknya tepat di samping pintu. Seorang pria dewasa tak dikenal berdiri di depannya, berbatasan kaca dan tembok, sepertinya suara ketukan tadi berasal darinya.
"Selamat sore adek, Bapa ada?“ suara itu ramah.
„Ada tidur,“ sahut kakak saya datar. (=sedang tidur)
„Mama?“ Tidak menyerah orang itu.
„Mama juga ada tidur.“ 
„Bisa bangunkan ko, adek?“ Orang itu musti rentenir atau sales, yang tidak kami harapkan!Niat!
Tentu saja kakak saya berbohong. Siapa sangka dia dapat ide itu?! Rumah kami saat itu kosong, dia seorang diri di sana. Dia masih anak SD saat itu, tapi dia tahu cara main. Saya takjub dan bangga pada kakak saya ketika kami sudah cukup besar untuk diceritakan tentang kejadian sore itu oleh orang tua kami. Mereka merasakan hal yang sama, karena mereka tidak pernah mengajarkan kami untuk mengatakan yang lain selain fakta dan kenyataan. Tetapi kakak saya nampaknya tipe yang lebih praktis. Kami tidak tahu orang macam apa itu, apa inginnya, dari mana asalnya, apakah dia orang baik, atau orang jahat… 
Desa kami terpencil dan orang-orangnya naif, mereka saling kenal satu sama lain, dan selalu beranggapan positif terhadap orang asing, tidak seperti di negara maju seperti Jerman; sejak kecil seorang anak diajarkan untuk tidak bicara dengan orang asing, dan bahkan diajarkan bahwa orang asing bisa ingin melakukan kejahatan kepada mereka. Tapi ajaran itu tidak sepenuhnya salah! Berhati-hati, kata kuncinya. 
Orang tua saya yang baik hati dan jujur tidak pernah terpikir akan ada orang berkeinginan jahat di desa asri kami di awal tahun 1990!!!  Well, who knows! Tapi kakak saya pandai! Bisa jadi orang asing tadi penculik anak, perampok rumah, atau apapun hal keji yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia polos era itu!
Orang asing tadi akhirnya pergi karena Erik menolak membukakan pintu dan menolak membangunkan orang tua saya demi menemui dia. Erik memang berbohong, tetapi untuk melindungi kami, dan paling utama dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar