Seperti
yang sudah saya sebutkan pada bagian pertama tentang Solo Trip ini, saya anti
wisata pernah. Saya lebih suka berada dalam „Sekarang dan Di sini“, jadi saya
tidak kejar tayang. Saya tidak ngebut harus ke sini atau ke situ pada hari Satu,
hari dua dan hari tiga. Definisi trip saya hampir mirip dengan ziarah. Jadi,
bukan tentang mencentang berapa gedung yang sudah saya potret, dan berapa yang
belum, tetapi apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan ke mana memori saya
memanggil ketika saya melihat sesuatu, mengamati sesuatu. It is all about me! Bagaimana suatu Scene melepaskan reaksi psikologis dalam saya dan bermain-main
dengan indra dan rasa saya. Bagaimana itu menginspirasi dan menggugah saya,
bagimana itu membuat saya bertanya dan jawabannya adalah pertanyaan juga. Itu
yang saya cari.
Saya
membiarkan diri saya terbawa arus. Dalam kesadaran dan kendali, karena saya
inginkan arah, ke mana itu, saya belum tahu, lha makanya saya jalan-jalan
sendiri untuk bertemu pintu-pintu yang baru. Maaf ya, mbak-mbak dan mas-mas,
kalau saya terdengar rada spiritual. Aliran saya memang demikian, easy life is boring.
Saya
tidak terbangun suatu pagi dan memutuskan untuk menggeledah isi dunia di luar
sana. Saya memutuskan secara sadar, dan saya sudah tunggu seabad lamanya sampai
mimpi itu matang untuk dipetik. Sehingga saya tidak ingin mendoktrin siapa pun
yang membaca halaman ini, tidak pula menyalahkan mereka yang lebih suka
travelling dengan teman atau pacar atau hewan…
Saya
melihat dinding-dinding yang tidak kasat mata di sekeliling saya, seolah-olah
gerak-gerik kita sudah terdefinisi, tapi intuisi saya selalu tahu, ada
batas-batas yang memang bisa ditembus…Tidak hanya secara fisik, tapi juga
psikis. Tidak hanya melintasi batas wilayah, tetapi juga menjejaki batas-batas
dalam perspektif, dalam sudut pandang, dalam horison, cakrawala berpikir kita,
dan terutama, bagaimana cara kita mamandang ke dalam diri…
Praha
Awal Summer 2018. Itu pertama kalinya saya
meninggalkan sarang saya untuk keluar negeri. Dengan excited saya membooking dua hostel yang berbeda karena alasan budget dan ketersediaan waktu. Tadinya
saya pikir itu ide bagus.
Satu
malam sebelum check out hostel yang
pertama saya iseng mencari alamat hostel berikutnya, ternyata letaknya hanya beberapa
blok dari tempat saya menginap. Google Map menavigasikan saya ke sebuah hotel
berbintang 3 (garuk kepala bingung: yang saya booking itu hostel) setiap kali saya mengklik peta dalam
profil hostel yang ingin saya tuju itu. Sedikit tidak percaya: masakan mungkin
dengan 14 Euro saya bisa dapat sesuatu di sana, mentok-mentok sebuah bantal di
atas lantai, di koridor menuju dapur, itu pun kalau boleh!
Sedangkan
dengan 17 Euro saja saya hanya bisa mendarat di sebuah hostel dan harus berbagi
kamar dengan 15 orang asing lainnya, dalam tempat tidur tingkat, semuanya
terhuni, kamar mandi cuma satu! Bahkan dulu di asrama Katolik Syuradikara, kami
hanya ber enam sekamar! Hostel kedua saya ini menjanjikan kamar dan tempat tidur untuk sendiri! Harganya hanya 14 Euro pula! Saya hampir ngiler dibuatnya.
Topografi
Praha sedikit bergelombang, saya yang berasal dari Kupang, Ende, Jogja dan
Hamburg, tidak mengenal ini. Saya tidak terbiasa menaiki dan menuruni
jejalanan. Saya harus mendaki untuk tiba di hotel berbintang tiga itu. Layaknya
gedung-gedung di kota-kota di Eropa, hotel itu tidak berdiri seorang diri,
melainkan saling menempel berjejeran dengan gedung-gedung lain, yang saya bisa
lihat hanyalah fasadnya. Sebuah umbul-umbul hampir sama tingginya berkibar
memisahkan batas dindingnya dengan dinding tetangga, tercetak nama hotel
tersebut, tebal. Saya melangkah melewati lobi menuju konter, bertanya apakah
ini alamat mereka, sambil menunjukkan alamat yang saya screenshot dari profil si hostel di Airbnb. „Tidak, alamat yang
Anda cari letaknya di suatu tempat di belakang hotel ini, jalannya menurun.
Hati-hati“ Kenyataannya jalan itu memang terlalu curam untuk… sepatu berhak
saya dan kaum jompo dengan rollator. Setelah tersesat beberapa kali dan
bertanya arah selusin kali, saya pun tiba di depan sesuatu yang tidak
menyerupai hostel maupun hotel. Saya telpon si pemilik hostel, „Kenapa saya
tidak melihat papan nama hostel Anda?“
„Tidak
ada papan nama,“ sahut suara di seberang, seolah-olah itu normal: hostel tanpa
papan nama.
„Mana
pintumu? Saya ingin bicara dengan resepsionis!“ desak saya.
„Tidak
ada resepsionis, saya sekeluarga juga tidak tinggal di sana“ jawabnya santai.
Mulut saya menganga.
OK,
saya kenal beberapa orang yang menyewakan apartemen mereka pada saat weekend, sementara mereka hengkang ke
tempat pacar atau orang tua: „Sambil Rileks-Berendam-Minum Cappucino-Selfie,
uang mengalir ke kantong kasir“, bunyi moto mereka. Tapi saya keliru total! Suara di hape
saya menginstruksikan saya untuk melangkah beberapa meter ke samping, sampai
saya menemukan sebuah pintu dicat kuning yang ada poster Kodaknya. Lewat kaca
pintu itu saya berusaha mengintip, tapi susah karena gelap. Saya berani sumpah,
apa pun yang ada di dalam sana, tidak bisa dibandingkan secuil pun dengan
sebuah hostel.
„Datang saja besok kalau mau check in, jam 9 kan? Nanti saya telpon
tepat waktu. Tapi sekarang kamu sudah tahu di mana pintu masuknya! Bye!“
tutupnya meninggalkan alarm buruk di kepala saya! Kembali ke hostel dengan
perasaan tidak aman malam itu.
Keesokannya
petualangan Jumanji dimulai! Saya ditelpon tepat jam 9, saya barusan check out dan berpisah dengan 16 dipan
tingkat.
„Bagaimana
saya bisa masuk kalau tidak ada resepsionis dan kamu tidak tinggal di sini?“
saya hampir mengucapkan itu dalam teriakan.
Instruksi
berikut yang saya dapat; saya hampir pikir saya tuli. „Pergi ke pintu sebelah
(tetangga), di sampingnya ada beberapa kotak surat, cari yang namanya XXX (saya samarkan),
coba buka pintunya, kalau susah ditinju saja. Kunci kamarmu ada di dalam sana.“
Mulut saya sekarang sudah kemasukan lalat!
Dia
benar, saya harus tinju untuk membuka kotak surat rongsokan itu! Dengan kunci
itu saya berhasil masuk ke sesuatu yang dijanjikan sebagai hostel. Saya
melangkah di antara penasaran dan enggan, sesuatu dalam diri saya tahu, saya
tidak akan suka dengan apa yang akan saya lihat. Kini alarm di kepala saya
tidak lagi memukul seperti gong, melainkan membisu dan saya hampir menangis.
„Hallo?“
Ternyata kami masih terhubung. Saking shocknya saya tidak sadari hape saya masih
menempel di telinga.
„Mana
kamar saya?“ Tanya saya membeku di dalam sebuah studio foto, yang dia iklankan
di Airbnb sebagai hostel.
„Itulah
kamarmu.“ Nadanya seperti tanpa dosa. Sepertinya ini bukan kali pertama dia berbohong
tentang akomodasi ini.
„Mana
tempat tidurnya?“ Saya tentu bukan satu-satunya korban penipuan.
„Coba
tengkok ke atas.“ Saya melakukan yang disuruh. Dan tempat tidur itu melayang di
antara atap dan lantai, tepat di atas kepala saya.
„Bagaimana
saya bisa sampai ke atas?“ Tanya saya pasrah.
„Di
ruangan sebelah ada tangga portabel.“ Tutornya dengan nada yang sangat terlatih
dan sangat biasa seolah-olah nasib saya saat ini sedang sangat luar biasa prima.
Singkat
kata, apa pun yang saya singkap di sana hanyalah berita dan mimpi buruk. Itu
ternyata adalah studio foto, tempat si pemilik „hostel“ bekerja. Sebuah mesin
pencetak raksasa bernaung di sudut ruangan, di antara tumpukan kertas. Di
dinding-dindingnya, baik di ruang depan maupun ruang belakang menuju toilet,
terpampang foto-foto hitam putih dari awal tahun 1900 (wtf!), ada yang posenya
malah close up sehingga saya merasa
di mana pun saya berdiri, rasa-rasanya mereka sedang menatap saya. Sial!!! Saat
saya mencari kamar mandi, saya malah hanya menemukan sebuah toilet dengan tisu
yang sepertiganya sudah terpakai. Tidak ada air hangat di wastafel. Kasur yang
saya tiduri tidak berselimut dan sepreinya tidak diganti. Welcome to…Prague! Saya tidak hanya tidak bisa mandi, saya juga
akan tidak bisa tidur!!! Setelah seharian menikmati Praha dan lagi-lagi
tersesat, malamnya saya kembali ke gubuk Kodak saya untuk ganti baju,
selanjutnya saya akan menghadiri pertemuan para Couchsurfers di sebuah taman di tepi bukit. Dengan begitu, hari saya akan menjadi
lebih sedikit menyedihkan. Dari taman itu tadi orang bisa melihat seluruh kota Praha dan pemandangannya luar biasa indah. Sesampai saya di sana, ternyata saya bukan saja
menjadi sedikit rileks, melainkan mendapatkan malam yang luar biasa
menyenangkan dan mengumpulkan kontak, dengan beberapa di antaranya masih saling
bertukar kabar sampai hari ini.
Airbnb Vs Couchsurfing
Itu
terjadi pada hari kedua, pada hari yang pertama saya dikonfrontasikan dengan
ngoroknya sang tetangga dipan dan toilet yang rusak; dan hari ke tiga,
sekaligus hari terakhir saya hengkang dari gubuk kodak, dihadapkan dengan
bateri hape yang mati dan dengan last-minute-request,
saya kabur ke rumah Pavel, Host dari Couchsurfing yang baik hati dan membagikan
saya sepenggal fase hidupnya yang sangat inspiratif.
Offline is Luxus?
Saya
baru tahu kalau saya tidak tahu cara bergaul baik dengan dunia digital maupun
analog.
Peta
darurat di tangan saya yang saya cabut dari konter hostel saya, pasti sudah
menertawakan saya sejak tadi kalau dia bisa bersuara. Saya tersesat
bertubi-tubi. Ternyata saya manusia yang tidak hanya vintage dan konvensional,
tetapi juga gaptek. Menyedihkan. Saya pikir saya harus menjalani hubungan yang
serius dengan teknologi!!
Kesepian=terapi
Bohong
kalau saya bilang kamu tidak akan kesepian, terutama jika solo trip mu lebih
dari 4 hari. Memang akan ada momen di mana kesepian muncul, tetapi justru ini
bagus; kamu dikonfrontasikan dengan hal-hal tak terduga, dalam kasus ini
kesepian. Menengok ke belakang, dalam keseharianmu di kos/flat, kesepian kau
tepis dengan cara kabur ke/bersama teman untuk nogkrong misalnya. (Yang
saya baca nih: kita memang seringya mencari kebahagiaan dalam diri orang lain;
itu tidak bagus: sampai kapan ketergantungan ini?). Lantas kenapa manusia
takut dengan kesepian? Atau selalu menghindarinya? Gampang, karena ia melepas
pelatuk ketidakpastian dan keraguan dalam diri kita. Nah, Solo Trip mengajarkan
kita bagaimana cara bergaul dengannya.
Mau terlihat menarik di Instagram?
Orang
solo travelling itu kalau bukan foto
sebuah objek tanpa dirinya, ya foto di depan apa pun yang bisa memantulkan
bayangannya sendiri. Terjemahannya, saya tidak perlu membuat teman seperjalanan
saya menderita hanya karena saya ingin terlihat menarik di Instagram. Boro-boro
saya memanfaatkan kehadiran teman, yang ada saya malah sangat berterima kasih
atas kehadiran orang-orang asing yang menunjukkan saya arah dan jalan saat saya
desorientasi. Saat itulah saya benar-benar sadar betapa beruntungnya saya, dan
bahwa kebaikan manusia tidak otomatis harganya. Tidak lagi anggap enteng
bantuan orang!
Perempuan, sendiri, asing.
Ketika
saya cerita ke kolega-kolega di tempat kerja; hendak travel ke Praha solo, saya dapat pelototan. Tanpa membiarkan spekulasi menghantui pikiran, dengarkan suara hati. Intuisi.
Jika kamu mendengar alarm berbunyi di suatu tempat dalam hatimu, pasang telinga
baik-baik. Manusia dikaruniai firasat. Gunakan dengan bijaksana. Apa pun yang kamu
lakukan, lakukanlah dengan kesadaran dan tanggung jawab; merujuk ke tiga kata
yang saya cetak tebal di atas. Kalau memang perlu, tunjukkan batasmu. Universum
ini kurang lebih adalah cerminnya kita, tapi yang namanya sial tidak ada hubungannya dengan apakah seseorang baik atau tidak ya. Emang kalian pernah
lihat orang baik hidupnya melulu tanpa apes? Apes itu seperti KFC, ada di
mana-mana! Mengantisipasi ini, kita hanya bisa jeli melihat dan perhatian, awas
lalai. Live for the moment, tanpa perlu Paranoia.
Yang
ingin saya katakan adalah, sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya ingin
bercerita tentang anekdot dari masa kecil saya di kampuang kito nun jauh di
mato…Ada tips di balik itu. Kalau ada orang asing di hostel atau stasiun kereta
atau di tikungan jalan yang baru kamu temui dan baru bicara dua menit,
bertanya, „Baru pertama kali di sini?“
Apa
jawabanmu?!
Berbohong !!!!!
∞ ∞ ∞
Pada
suatu sore yang teduh yang sering dipakai untuk tidur siang di desa saya—awal
tahun 1990— kakak saya Erik beranjak menuju pintu, mengikuti sebuah suara
mengetuk. Kakak-kakak saya (termasuk saya di kemudian hari, yang saat itu masih
bayi) adalah pemberontak anti tidur siang.Erik tidak membuka pintu, tapi malah mengintip lewat jendela kaca nako yang letaknya tepat di samping pintu. Seorang pria dewasa tak dikenal berdiri di depannya, berbatasan kaca dan tembok, sepertinya suara ketukan tadi berasal darinya.
"Selamat sore adek, Bapa ada?“ suara itu ramah.
„Ada tidur,“ sahut kakak saya datar. (=sedang tidur)
„Mama?“ Tidak menyerah orang itu.
„Mama
juga ada tidur.“
„Bisa bangunkan ko, adek?“ Orang itu musti rentenir atau sales, yang tidak kami harapkan!Niat!
Tentu
saja kakak saya berbohong. Siapa sangka dia dapat ide itu?! Rumah kami saat itu
kosong, dia seorang diri di sana. Dia masih anak SD saat itu, tapi dia tahu
cara main. Saya takjub dan bangga pada kakak saya ketika kami sudah cukup besar
untuk diceritakan tentang kejadian sore itu oleh orang tua kami. Mereka
merasakan hal yang sama, karena mereka tidak pernah mengajarkan kami untuk
mengatakan yang lain selain fakta dan kenyataan. Tetapi kakak saya nampaknya
tipe yang lebih praktis. Kami tidak tahu orang macam apa itu, apa inginnya,
dari mana asalnya, apakah dia orang baik, atau orang jahat… „Bisa bangunkan ko, adek?“ Orang itu musti rentenir atau sales, yang tidak kami harapkan!Niat!
Desa kami terpencil dan orang-orangnya naif, mereka saling kenal satu sama lain, dan selalu beranggapan positif terhadap orang asing, tidak seperti di negara maju seperti Jerman; sejak kecil seorang anak diajarkan untuk tidak bicara dengan orang asing, dan bahkan diajarkan bahwa orang asing bisa ingin melakukan kejahatan kepada mereka. Tapi ajaran itu tidak sepenuhnya salah! Berhati-hati, kata kuncinya.
Orang tua saya yang baik hati dan jujur tidak pernah terpikir akan ada orang berkeinginan jahat di desa asri kami di awal tahun 1990!!! Well, who knows! Tapi kakak saya pandai! Bisa jadi orang asing tadi penculik anak, perampok rumah, atau apapun hal keji yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia polos era itu!
Orang asing tadi akhirnya pergi karena Erik menolak membukakan pintu dan menolak membangunkan orang tua saya demi menemui dia. Erik memang berbohong, tetapi untuk melindungi kami, dan paling utama dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar