Part I
Pagi di mana aku
terbangun pada tanggal 17 Maret 2012, aku dalam keadaan linglung dan belum
menyadari sepenuhnya bahwa aku genap berusia 21 tahun hari ini. Semalam aku
jatuh tertidur sebelum jam 12, sama sekali tak ada keinginan untuk melewati
detik-detik pergantian umur seperti yang akan dilakukan oleh semua orang
lainnya. Meskipun tidak begitu berniat, tapi aku tetap harus mengecek hape.
Beberapa sms sudah masuk dari jam 12 malam tadi. Tugas berikutnya adalah
membalas sms mereka, mengucapkan terima kasih.
Menjelang siang,
seorang sahabat SMA menelponku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Kami sempat
ngobrol selama satu jam. Namun aku tak berkonsentrasi dengan apa yang kami
obrolkan karena entah ke mana perginya pikiranku. Hari ini rasanya begitu
biasa, sampai aku merasa tak punya alasan untuk bersemangat. Seolah tak ada
yang kunantikan....
Hari ini rasanya
tak berbeda dari hari-hari kemarin. Aku maklum, mungkin karena aku sudah
beranjak tua, the fire was gone.
Masih kuingat, hari-hari menjelang usiaku yang ke 17, aku bertanya-tanya dalam
hati “Hei, Mona, usiamu sebentar lagi 17.
Sudah siapkah dengan angka itu?” Sweetseventeen, julukan yang klasik. Dan ketika aku hampir menyentuh angka
18, aku benar-benar gelisah bahwa aku sudah hampir menanggalkan mahkota
kesombongan masa remajaku. Tapi bedanya, saat itu ada sahabat-sahabatku di
asrama yang memberiku surprise yang
menakjubkan sehingga rasa takutku sirna sudah. Malam saat aku berusia 19, aku
mendapat dukungan yang sama dan betapa bergejolaknya aku dengan angka 19 itu.
Rasanya ingin kembali ke tahun-tahun sebelumnya sekaligus penasaran dengan apa
yang akan kuhadapi di usia itu. Sedangkan malam menuju usiaku yang ke 20, aku
tak bisa tidur, aku ingin sekali difoto banyak-banyak sebelum melepas angka 19
karena aku tidak rela melepas kata “belas” itu dari ejaan usiaku. Aku takut aku
tak bisa ketawa ngakak lagi seperti Mona yang khas, aku takut aku tak bisa
pelesir semauku lagi seperti Mona yang selalu penuh energi, aku bahkan takut
kehilangan selera humor! Kini aku kepala dua!!! Tak bisa kupercaya itu! Paginya
aku langsung menyerbu cermin besar di kamarku dan meneliti senti demi senti
wajahku, adakah keriput menggerogotinya.
Tapi pagi ini?
Nothing.
Wow! Aku 21 tahun!!!
Aku mencoba untuk berteriak begitu dalam hati tapi tak terasa apa-apa. Aku
hanya akan membodohi diriku sendiri.
Tak ada
keinginan sedikit pun untuk membuka Facebook. Tak ada rasa kepengen sekalipun
untuk bertemu siapa-siapa ataupun dihubungi lewat hape. Aku hanya berkeliaran
di kamar, mondar ke kanan, mandir ke kiri, lalu ketika capek, aku duduk dan
mulai mengetik cerita di laptop. Aku tak punya mood untuk meniup lilin (tapi toh ujung-ujungnya kulakukan juga
karena sahabatku ulang tahunnya juga berdekatan denganku jadi kami sepakat
untuk merayakannya bersama-sama), aku tak kepingin memotong kue atau merasa
siap untuk sebuah surprise konyol
dari entah siapa salah satu temanku.
Aku sedang
berada di kamarku, mengetik tulisan yang berjudul “Mata Kuliah DSV Tuh Sesuatu
Banget Deh”. Di saat aku sedang asyik-asyiknya terbawa alur cerita, tiba-tiba
ada sms masuk. Nomor baru. Ucapannya begini:
Bayi mungil yang berbulu mata lentik itu kini telah menjadi
gadis remaja yang cakep dan cukup pandai. Dua puluh satu tahun lalu kelahirannya
diberitahu lewat mimpi bahwa ia adalah bayi perempuan dan lahir pada hari
minggu. Selamat ultah anakku, kudoakan perlindungan dan kesuksesanmu setiap
waktu. Makasih, mama Oesao.
Aku mengerutkan
kening saat membaca kalimat pertama. Siapa ini yang membawa-bawa nama bulu
mataku? Dan ia tahu aku lahir diberitahukan lewat mim... Astaga!! Tak kusangka-sangka,
ternyata itu Mama. Aku langsung menyadarinya sebelum sampai ke kalimat
terakhir. Aku pun langsung berjatuhan air mata, berikut backsound huhuhuhuhu. (ini tangisan haru, bukan
air mata cengeng) Biasanya aku tidak menangis dengan suara, tetapi kali ini aku
sudah tak tahan lagi (dan ternyata seperti inilah suaraku kalau menangis :
sangat jelek!). Tiga tahun sudah aku terpisah laut ribuan kilometer jauhnya
dari keluarga. Aku sampai tak tahu harus berkata apa, hanya menangis dan
melontarkan apa pun yang muncul di kepalaku (benar-benar tak adanya gejala
kedewasaan). Lalu sahabatku yang ulang tahunnya akan dirayakan bersama-sama
denganku itu datang dan menenangkan aku. Terima kasih, sahabat. Aku tak tahu
bagaimana jadinya kalau aku seorang diri di sini.
Part II
Aku bisa melihat
kebaikan di depan sana, menantiku. Aku bisa merasakan cahaya berjalan bukan
dalam kecepatan cahaya yang 300 ribu km per sekon itu, tapi ia berjalan
perlahan, tahap demi tahap, hari demi hari, ketika matahai terbit dan terbenam.
Aku bisa merasakan ia ingin menyentuhku, dan aku mendengarkan ia selalu
memanggilku. Aku bahkan bisa mencium aromanya menari-nari di kejauhan.
Call me a
dreamer.
Seorang pemimpi
memejamkan mata dan membayangkan. Tetapi sang pemimpi sejati, dalam keadaan
mata terbuka pun bisa melihat kejadian-kejadian terjadi di depan matanya
padahal orang lain tak melihat apa-apa di sana. Baginya sejarah bukan hanya
diukir dari masa lalu, tapi juga dari masa depan. Sang pemimpi melihat harapan,
bukan kepasrahan. Ia tak ingin menjadi baik, tapi ia berusaha menjadi yang
terbaik. Ia tak hanya hidup untuk hari ini. Ia meletakkan kepercayaannya pada
hari esok.
Tak ada orang
yang mengharapkan bermimpi yang buruk dalam hidupnya. Bukannya ia ingin
mengesampingkan bagian hidup yang kelabu dan pahit. Sang Pemimpi tak hidup
dalam hitam atau dalam putih. Ia menikmati tangisannya dan merayakan air
matanya.
Twenty one.
Begitu kuucapkan, yang terpikirkan hanya satu. Freedom. Kurasa kata itu begitu menunjukkan sisi maskulinku dan dreamer adalah kembarannya yang berjenis
kelamin feminin. Mungkin karena aku terlalu teringat filmnya Jim Sturgess
tentang pengalaman besar yang ia alami saat memasuki usia 21. Entah apa yang
akan kualami di usia ini. Aku khawatir 80% tanggung jawab dan 20% hiburan. Tapi
ini aku. Dua puluh satu tahun aku
ditempa untuk ini. Dua puluh satu tahun
aku dididik untuk mandiri.
Someday. Adalah
kata yang selalu dia ucapkan. Mimpi identik dengan percaya. Dan harapan. Ia
percaya dan berharap suatu hari nanti semua mimpinya menjelma nyata....
Apa yang ia
impikan? Kebebasan, kemenangan, kebahagiaan, ketenangan dalam setiap napas
kehidupannya. Dia, Sang Pemimpi, di atas semua yang ia impikan itu, satu yang
paling penting : kehidupan sebagai ruang terjadinya semua kebebasan dan
kemenangan bahkan kekalahan, supaya ia bisa menikmati tangisannya dan merayakan
air matanya.
Meskipun ia
seorang pemimpi, lebih dari semua itu, ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Part III
Hari ini aku
bangun sekitar jam delapanan. Bukannya mandi atau membenahi kamarku yang
tersiram ke mana-mana, aku malah membuka laptop dan menyetel lagu John Lennon Dreamer. Beberapa hari terakhir ini
hanya lagu ini yang kudengarkan. Hanya lagu ini yang tahu caranya membuatku
merasa masih ingin mendengarkan musik, terlebih ketika John menyanyikan “You may say i’m a dreamer...”. Untuk
saat ini aku tak ingin mendengarkan We
Found Love atau The Worst Hangover
Ever atau Sweet Child O’mine,
bahkan Kiss Me-nya Avril Lavigne.
Karena hanya kosakata dreamer yang
menempel di kepalaku.
Berbeda ‘soundtrack’. Ketika aku memasuki usia
20, tahun lalu, yang kudengarkan hanya Michelle Branch, Goodbye to You. Bukan liriknya yang kuperhatikan, tetapi video
klipnya yang mengesankan : si Michelle Branch mengemudi menyusuri jalanan yang
diapit hutan, sendiri, dengan mobilnya dan ia tampak begitu menikmati
pemandangan hijau itu dan cahaya matahari yang menerobosinya. Apa yang
dilakukan Michelle dalam video klip itu sangat identik dengan diriku. Ke
mana-mana ia membawa ikan dalam botol kecil (tahun 2010, saat Jogja hujan debu,
aku menghindar ke Malang dan membawa serta Princess Lorette dalam botol Cointreau
dalam perjalanan bis 10 jam). Ada juga adegan ia menjadikan cincin sebagai
liontin kalungnya (aku sangat tertarik dan sempat menirunya, bahkan aku memakai
kalung itu saat meniup lilin ke 21-ku malam ini). Juga ada adegan di mana
temannya menuliskan kata dreamer ke
jari telunjuk Michelle. Itu yang tak bisa kulupakan. (aku selalu melakukan hal
yang sama di tanganku dengan tinta pulpen setiap kali dosen mengajar di depan
kelas.)
Umur baru
terjadi setahun sekali, tapi umur seorang manusia juga ada babaknya, seperti
drama. Babak itu berganti dalam rentang beberapa tahun. Misalnya babak
anak-anak, babak puber atau pra-remaja, babak remaja, pra-dewasa, dewasa, dst
(Namun menurut Raditya Dika, ada terselip satu gejala babak di antara remaja
dan Pra dewasa, yaitu alay.) Seperti
itulah mungkin kalau dibandingkan denganku. Aku selalu punya soundtrack saat memasuki babak baru.
Waktu hampir memasuki 18, yang kudengarkan hanya Britney Spears I’m Not A Girl Not Yet A Woman. Terlebih
di saat Britney mengucapkan “I’m not a
girl, don’t tell me what to believe. Not yet a woman: I’m just tryin’ to find
the woman in me. All i need is time, a moment that is mine, while i’m in
between.” Itu benar-benar mewakili diriku saat itu. Mendengarkan lagu itu
tak terlepas dengan membayangkan vodeo klipnya. Berhubung lagunya itu adalah soundtrack film Crossroads, maka ada sisipan adegan di mana Britney dan kedua
sahabatnya mengendarai mobil yang sama cepernya seperti mobil Michelle,
menyusuri jalanan panjang. Hanya bedanya, mobil Britney tanpa top-roof dan
bukan di hutan, melainkan di padang pasir. Aslinya video itu hanya berisi
Britney di atas Grand Canyon yang membuatku waktu SMP selalu melarikan diri ke
Gunung Golkar saat aku ingin sendiri.
Bagaimana pun
juga adegan dalam video klip Britney dan Michelle menginspirasiku mengadakan
perjalanan solo menyusuri jalan negara yang panjang, lebar, dan sepi dengan
mobil ceper yang sama.
Hanya aku. Dan
mungkin seekor ikan mungil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar