Lama kelamaan saya
gerah lihat iklan-iklan di TV. Produk kosmetik, bintang iklannya perempuan.
Produk deterjen dan semua yang berhubungan dengan urusan rumah tangga, bintang
iklannya sudah pasti perempuan. Apalagi produk diet! Seolah sudah kodrat dari
awal penciptaan manusia bahwa perempuan harus cantik, kemayu, langsing, mencuci,
memasak, merawat, dsb. Sedangkan bintang iklan mobil sporty, olahraga, politik,
rokok, dsb, sekalipun ada perempuan di dalam iklan tersebut, fungsinya paling
cuma sebagai ‘pemanis’ tok!
Lalu saya menyadari
bahwa ada iklan produk, yang mana sejak awal mula ‘kelahirannya’ telah
mengklaim diri sebagai produk yang khusus diperuntukkan bagi para mama, atau
dengan kata lain perempuan. Produk tersebut adalah MAMALEMON dan MAMASUKA.
Dan
kerapkali yang mengiklankannya adalah para wanita sendiri juga.
Setelah melihat iklan ini, saya berpendapat, alangkah lestarinya oposisi gender yang senantiasa masyarakat kita pelihara, bahkan disupport secara besar-besaran dan menyeluruh ke seluruh tingkat generasi oleh media massa.
Setelah melihat iklan ini, saya berpendapat, alangkah lestarinya oposisi gender yang senantiasa masyarakat kita pelihara, bahkan disupport secara besar-besaran dan menyeluruh ke seluruh tingkat generasi oleh media massa.
Membahas tentang
oposisi gender berarti membahas apa yang kodrati dan yang tidak. Iklan pembalut
wanita memang sudah sepantasnya diiklankan oleh seorang wanita, karena dialah yang
menjadi konsumen dari produk tersebut. Namun iklan deterjen, kosmetik, pembersih
toilet, obat nyamuk, pelembut pakaian, bumbu masakan, perlengkapan bayi….
KENAPA YANG MENGIKLANKAN HARUS PEREMPUAN? Apakah itu kodrati? Datang bulan
tentu saja sesuatu yang kodrati : yang diberikan Sang Pencipta sejak awal mula
penciptaan manusia itu sendiri, yang terkait dengan genital dan biologis.
Kembali ke iklan tadi. Ada
yang bisa menangkap pesan di balik itu? Budaya yang satu ini sudah bercokol dan
berakar terlalu kuat, pula terlalu dalam, dalam masyarakat kita sehingga
kita tidak menyadarinya sama sekali,
bahkan cenderung membenarkannya jika ada yang mempermasalahkannya. Budaya ini
mengawetkan oposisi gender secara naif, berharap kapasitas otak manusia berada
di bawah frekuensi standar sehingga tidak akan menyadari fenomena ini.
Herannya, media masih saja menjadi pelopor, bahkan provokator ulung dari
ketidakadilan sosial ini.
Daripada terlalu jauh
mengomeli media massa yang tuli sejak lahir (tapi tak pernah menyadarinya,
akibat komersialisasi buta-butaan!), lebih baik topik kita kembali ke iklan. Iklan
masak-memasak, cuci-mencuci, merawat bayi, dan sebagainya, sebenarnya
mengandung pesan tersirat bahwa segala tugas rumah tangga adalah bagian dari tugas
pokok seorang mama, seorang perempuan, kaum wanita. Bahkan ada iklan yang
dengan bangganya mempertontonkan seorang wanita karier yang sepulang kerja
masih (harus) menyempatkan diri mengurusi keluarganya, suami, dan anak-anak.
Maka kepercayaan yang sudah ada di masyarakat tentang pembagian wilayah tugas di antara laki-laki dan perempuan semakin kuat. Bahwasanya laki-laki menguasai wilayah publik (semua yang di luar rumah), sedangkan perempuan di wilayah non-publik (domestik). Kepercayaan ini saking kuatnya, hampir menyaingi iman dan keyakinan mereka! Maka munculah semboyan konyol nan mesum : Wanita itu kasur, dapur, sumur.
Maka kepercayaan yang sudah ada di masyarakat tentang pembagian wilayah tugas di antara laki-laki dan perempuan semakin kuat. Bahwasanya laki-laki menguasai wilayah publik (semua yang di luar rumah), sedangkan perempuan di wilayah non-publik (domestik). Kepercayaan ini saking kuatnya, hampir menyaingi iman dan keyakinan mereka! Maka munculah semboyan konyol nan mesum : Wanita itu kasur, dapur, sumur.
Oposisi gender ini
nantinya mengesampingkan dan menabukan kaum androgini, yaitu mereka yang berada
di tengah-tengah skala feminin dan maskulin. Kenapa? Karena masyarakat kita
sudah terlanjur mengepak, menggolong-golongkan, mematok, mengundang-undangkan :
INI BAGIAN YANG PANTAS BUAT LAKI-LAKI DAN BUAT PEREMPUAN – DAN INI YANG TIDAK
PANTAS BUAT MEREKA. Maka di saat ada yang menyimpang dari patokan-patokan itu,
individu tersebut dianggap menyalahi aturan yang berlaku dalam masyarakat lalu
ia pun diisolasi. Padahal sebenarnya dia itu hanyalah korban dari konstruksi sosial
dan budaya kita! Contohnya saja, suami yang mencuci piring, memasak, dan merawat
anak-anaknya dicap negatif : SUAMI TAKUT ISTRI. Semboyan ini merupakan sindiran
yang diberikan oleh para laki-laki (ironisnya, para perempuan juga!!!) kepada
sesama kaumnya karena dianggap lemah. Seolah sudah merupakan kodrat bahwa
laki-laki harus lebih unggul dari perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar