Kamis, 23 Mei 2013

DIKATAIN "PELACUR" ITU BELUM SEBERAPA, 'MASIH LUMRAH KOK...'

Malam sekitar jam tujuh, seorang gadis—sebut saja Sani— sedang janjian dengan temannya—sebut saja Maria. Sani datang bersama pacarnya, mereka menunggu di depan gerbang kos Maria yang langsung bersampingan dengan sebuah lorong remang-remang menuju perkampungan. Lorong itu tak begitu ramai kendaraan bila hari sudah gelap. Sani menunggu di atas motornya sedangkan pacarnya berdiri agak jauh dari situ. Tiba-tiba seorang bapak dengan genitnya menggoda Sani (mungkin karena tak melihat keberadaan pacarnya yang berdiri terpisah agak jauh darinya). Bapak itu menyiulinya dan memanggil-manggil dengan cara yang tak sopan dan menggelikan. Awalnya Sani diam saja, namun karena berkali-kali tetap dicuekkin, bapak itu geram dan serta merta mengatainya perek (pelacur). Si bapak mendekati Sani dan mengatai-ngatainya seolah Sani sedang mangkal karena duduk-duduk sendiri tak jelas di jalanan temaram yang lumayan sepi itu.sani dan pacarnya yang langsung mendekat elas tak terima dikatai dan diperlakukan begitu. Singkat cerita, mereka pun berdebat mulut. Maria dan seorang temannya akhirnya keluar dari dalam kos dan mencoba melerai, namun si bapak dengan pongahnya tak mau mengalah. Malahan ia mengancam bahwa ia orang asli perkampungan situ, sekaligus juga kenal dengan banyak preman jadi harus hati-hati kalau berurusan dengannya. Sani yang merasa dilecehkan dan diancam melapor ke polisi, menuntut perbaikan nama baik, si bapak menghilang. Sesampai di kantor polisi, Sani menjelaskan detail jalan cerita.namun di ujung kalimatnya, Pak Polisi malah hanya bertanya, “Trus masalahnya apa?” Pak Polisi lalu menganjurkan penyelesaian secara kekeluargaan.
Cerita di atas adalah kejadian nyata dari teman saya. Yang saya prihatinkan dari kisah ini adalah ketidakpekaan kita sebagai manusia terhadap hak-hak asasi kita sendiri. Tadi-tadinya waktu mendengar cerita ini dari Maria, saya amat marah dengan si Bapak Tidak Bermoral yang menggoda, memaki, dan mengancam Sani tanpa sebab, namun setelahnya kemarahan saya berpindah pada aparat penegak hukum yang responnya menyepelekan.
Dalam budaya maskulin kita, ada banyak kasus seperti ini. Seorang wanita diperkosa, lalu komentar dari masyarakat :
“Pasti wanita itu berpakaian dan berdandan berlebihan (menor), makanya tidak heran kalau dia mendapat sial seperti itu.”
BAYANGKAN !!!!!!
Parahnya lagi, tidak jarang komentar sedemikian itu dilontarkan oleh kaum perempuan sendiri. Betapa butanya kita. Apakah berpakaian dan berdandan bukanlah hak asasi setiap orang? Dan apakah tidak ada yang menyadari bahwa kontrol seks laki-laki bersama moralnya yang sakit lah yang mendorong id-nya untuk memperkosa? Lalu kenapa kesalahan justru dilimpahkan pada si korban? Betul-betul dunia yang sudah terbalik! Pada kasus Sani tadi, menurut cerita Maria, pada waktu itu Sani hanya mengenakan sandal jepit, celana selutut, dan jaket longgar. Kalau begini kan bisa diambil kesimpulan, bukan penampilan seorang perempuanlah yang menjadi faktor pelecehan seksual (atau pemerkosaan) terjadi, namun tentu faktor moral, kesehatan psikologis, pendidikan, dan sejenisnyalah yang jadi penyebab utamanya bukan?
Kembali pada yang terjadi di  kantor polisi tadi. Seolah si Pak Polisi tersebut tidak paham duduk perkaranya. Ataukah, pertanyaan saya sebagai awam-hukum : belum adakah definisi pasti tentang pelecehan seksual? Belum ada undang-undangnyakah? Apakah suatu tindakan baru akan dinobatkan sebagai pelecehan seksual kalau sudah adanya pemerkosaan? Jadi kesimpulannya, kalau baru digodain dan dikatain pelacur sih, belumseberapa, nggak usah marah, jangan kayak orang susah deh….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar