Entah kenapa hati ini tak
ingin ditinggalkan mata. Ia tak mau terpejam. Mungkin di dalam sana terlalu
banyak ketakutan dan kekhawatiran. Sehingga sejak tadi malam samapai saat ini,
5.42, saya belum juga tidur. Yang saya lakukan adalah menonton ulang film Eat
Pray and Love. Setelah selama ini menonton film ini beberapa kali baru saya
pahami artinya baik-baik sekarang, setidaknya menurut saya begitu. Banyak hal
yang ia ajarkan, tidak hanya sekedar memiliki 49 cap di paspor anda untuk
meneguk hidup, namun : berani keluar dari segala sesuatu yang tadinya selalu
akrab seperti rumah dan mencari kebenaran dengan melalui sebuah jalan di mana
setiap hal atau orang yang kita temui dapat kita anggap sebagai guru; maka
kebenaran tidak akan menjauh dari kita. Itu kata-kata yang diucapkan Julia
Roberts.
Tepat seperti yang saya rasakan. Saya sedang bergerak keluar dari
zona aman. Hanya saja kata saya bukan ‘kebenaran’, entah apa. Menjadi seseorang
yang benar tak pernah jadi impian saya. Saya hanya ingin menjadi orang yang
‘hidup’ dalam kehidupan. Tapi sekarang saya merasa mati dalam kehidupan.
It’s Your Love menjadi soundtrack saya pagi ini. Saya sedang menatap jendela kamar
saya yang kian melapuk oleh hujan. Tirai setengah terbuka. Pagi ini hujan
memeluk Jogja. Tidak keras, tapi juga bukan gerimis: tipe hujan favorit saya.
Dari atas tempat tidur saya, memangku laptop dan mencium aroma hujan
mengitari cahaya khas pagi di bulan Januari yang mana tak akan pernah saya
lupakan walau 40 tahun berikut ini saya habiskan di Skandinavia. Sambil
berpikir di mana lagi di belahan bumi ini bisa saya temukan hujan sehangat dan
secinta ini. Entahlah, kata cinta mungkin aneh. Namun setiap kali hujan turun,
ia menyembuhkan saya. Semua rasa sakit dan lelah ia ganti dengan cinta. Karena
itu saya ingin memori saya memotret keadaan dan situasi pagi ini. Bahkan
mungkin ini adalah permohonan terakhir saya di bumi. Mengingat semua memori
awal dalam kehidupan saya mulai menghilang satu-satu, saya hanya ingin meneguk
setiap embun baru setiap pagi.
Wow, lucu. Tadinya banyak yang ingin saya katakan tentang keluhan
dan kesedihan saya, namun ternyata yang diketik oleh jemari saya hanyalah
hujan. Hujan… mantra yang membekukan lukaku dan mencairkan cintaku. Hujan…
tinggalkan basah di hatiku, bukan di mataku. Hujan…memainkan gentar di hatiku
menjadi getaran gairah.
Dan ini hujan ke 21 selama saya hidup. Dua puluh satu saat-saat
paling diingat dan terekam dalam memori antara saya dan ayah saya; antara saya dan
kakak saya; dan antara saya dan diri sendiri. Saya sangat terlibat sepenuhnya
saat musim hujan tiba: merayakannya dengan tanam-tanaman di sawah, dengan
memancing bersama ayah saya dan kakak-kakak saya, bermain payung, berenang di
sungai, kejar-kejaran di dalam hujan, memijak lumpur, sampai hanya terjebak di
balik jendela dan mencoba menulis ejaan M-O-N-A di jendela rumah saya yang berembun
bersama kakak saya, juga ditemani seekor lalat yang kebetulan terperangkap di
sana kebingungan mencari jalan keluar.
Tapi itu 15 tahun yang lalu. Dan saya tetap saja tidak bisa menjawab
pertanyaan : kenapa semua memori yang masih terekam dalam ingatan saya biasanya
hanya yang ada latar hujannya?
Siang nanti kaki dan kepala ini akan membawa saya ke tempat-tempat
yang tidak dikehendaki oleh keempat indra saya. Semuanya hanya ingin menempel
di selimut ini, mendengarkan hujan, mencium aromanya, sambil melihat keluar
jendela, dalam diam.
Hanya hujan yang bisa menyembuhkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar