Selasa, 22 Januari 2013

MUSIM HUJAN KE 21 DALAM HIDUP SAYA



Entah kenapa hati  ini tak ingin ditinggalkan mata. Ia tak mau terpejam. Mungkin di dalam sana terlalu banyak ketakutan dan kekhawatiran. Sehingga sejak tadi malam samapai saat ini, 5.42, saya belum juga tidur. Yang saya lakukan adalah menonton ulang film Eat Pray and Love. Setelah selama ini menonton film ini beberapa kali baru saya pahami artinya baik-baik sekarang, setidaknya menurut saya begitu. Banyak hal yang ia ajarkan, tidak hanya sekedar memiliki 49 cap di paspor anda untuk meneguk hidup, namun : berani keluar dari segala sesuatu yang tadinya selalu akrab seperti rumah dan mencari kebenaran dengan melalui sebuah jalan di mana setiap hal atau orang yang kita temui dapat kita anggap sebagai guru; maka kebenaran tidak akan menjauh dari kita. Itu kata-kata yang diucapkan Julia Roberts.  
Tepat seperti yang saya rasakan. Saya sedang bergerak keluar dari zona aman. Hanya saja kata saya bukan ‘kebenaran’, entah apa. Menjadi seseorang yang benar tak pernah jadi impian saya. Saya hanya ingin menjadi orang yang ‘hidup’ dalam kehidupan. Tapi sekarang saya merasa mati dalam kehidupan.
It’s Your Love menjadi soundtrack saya pagi ini. Saya sedang menatap jendela kamar saya yang kian melapuk oleh hujan. Tirai setengah terbuka. Pagi ini hujan memeluk Jogja. Tidak keras, tapi juga bukan gerimis: tipe hujan favorit saya.
Dari atas tempat tidur saya, memangku laptop dan mencium aroma hujan mengitari cahaya khas pagi di bulan Januari yang mana tak akan pernah saya lupakan walau 40 tahun berikut ini saya habiskan di Skandinavia. Sambil berpikir di mana lagi di belahan bumi ini bisa saya temukan hujan sehangat dan secinta ini. Entahlah, kata cinta mungkin aneh. Namun setiap kali hujan turun, ia menyembuhkan saya. Semua rasa sakit dan lelah ia ganti dengan cinta. Karena itu saya ingin memori saya memotret keadaan dan situasi pagi ini. Bahkan mungkin ini adalah permohonan terakhir saya di bumi. Mengingat semua memori awal dalam kehidupan saya mulai menghilang satu-satu, saya hanya ingin meneguk setiap embun baru setiap pagi.
Wow, lucu. Tadinya banyak yang ingin saya katakan tentang keluhan dan kesedihan saya, namun ternyata yang diketik oleh jemari saya hanyalah hujan. Hujan… mantra yang membekukan lukaku dan mencairkan cintaku. Hujan… tinggalkan basah di hatiku, bukan di mataku. Hujan…memainkan gentar di hatiku menjadi getaran gairah.
Dan ini hujan ke 21 selama saya hidup. Dua puluh satu saat-saat paling diingat dan terekam dalam memori antara saya dan ayah saya; antara saya dan kakak saya; dan antara saya dan diri sendiri. Saya sangat terlibat sepenuhnya saat musim hujan tiba: merayakannya dengan tanam-tanaman di sawah, dengan memancing bersama ayah saya dan kakak-kakak saya, bermain payung, berenang di sungai, kejar-kejaran di dalam hujan, memijak lumpur, sampai hanya terjebak di balik jendela dan mencoba menulis ejaan M-O-N-A di jendela rumah saya yang berembun bersama kakak saya, juga ditemani seekor lalat yang kebetulan terperangkap di sana kebingungan mencari jalan keluar.
Tapi itu 15 tahun yang lalu. Dan saya tetap saja tidak bisa menjawab pertanyaan : kenapa semua memori yang masih terekam dalam ingatan saya biasanya hanya yang ada latar hujannya?
Siang nanti kaki dan kepala ini akan membawa saya ke tempat-tempat yang tidak dikehendaki oleh keempat indra saya. Semuanya hanya ingin menempel di selimut ini, mendengarkan hujan, mencium aromanya, sambil melihat keluar jendela, dalam diam.
Hanya hujan yang bisa menyembuhkanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar