Selasa, 20 Maret 2012

Sepucuk Surat Dari Hatiku Untuk Alam

Langit Desember yang kelabu ini seharusnya menjatuhkan titik-titik air yang disebut hujan. Itu lebih baik dibandingkan harus menahannya menjadi mendung dengan awan gelap yang beronggok-onggok. Hal itu hanya akan menambah hawa panas di bumi saja. Padahal aku sangat menunggu hujan, bahkan lebih dari sekedar menanti, aku mengharapkannya dan mendambakannya supaya aku bisa menulis di jendela kaca kamarku. Dan ketika suaranya yang deras memisahkan aku dari keramaian dunia, aku akan membangun duniaku sendiri di bawah selimut dan di atas bantal. Dan tak akan ada seorang pun yang menemukanku. Seperti Ariel yang terdiam di balik hujan dan Billie Joe yang percaya bahwa hujan turun dari bintang.
Dan seperti setiap kali hujan turun, aku akan mendengarkan musiknya—musik yang dimainkan oleh tetes-tetesannya di atas tanah dan di atas atap. Aku pun akan merasa tentram karena semua itu mengantarkanku ke masa-masa dari kisah hidupku yang berisikan hal-hal yang indah-indah saja. Aku akan teringat masa kecilku, ketika aku berjalan setengah melompat di atas aspal dengan kaki telanjang dan aspal itu sangat hangat terasa di kulit telapak kakiku. Aku juga tak akan pernah melupakan itu, bahwa bagaimana hujan membawa kembali kehidupan lewat benih apa pun yang jatuh ke tanah dan menjadikannya tunas yang hijaunya membuat aku merasa disambut hangat. Pohon-pohon menjenjangkan rantingnya ke mana-mana, seolah ingin leluasa menari bersama hujan, serta rerumputan yang menjalari tanah dan menjulangkan daun-daunnya, seakan ingin berpesta dengan hujan.
Ah, hujan, begitu banyak yang bisa kuceritakan tentang kehadiranmu. Dan ketika aku berjalan di dalam hujan, perasaanku terbebas dari kepenatan, berubah menjadi lapang dan senang. Itulah salah satu ciri Desember dalam sepanjang ingatanku. Dan itulah mengapa aku begitu mencintai natal—aku tak bisa membayangkan natal jatuh pada musim-musim kemarau. Aku sangat berterima kasih pada Julius Caesar atau siapa saja yang telah menetapkan penanggalan Masehi dan natal.
Tetapi apa gerangan yang terjadi dengan Desemberku kali ini? Apa alam sedang bicara dalam bahasanya sendiri? Payungku masih rapi di sudut kamar, berdebu.
Ah, hujan, turunlah. Aku harus melepaskan semua beban, kekecewaan, putus asa, kegelisahan, kerinduan, kemarahan, kelemahan, patah hati dan kesepian di akhir tahun ini. Aku membutuhkanmu untuk membasahi ladang hatiku yang gersang dan kosong, agar setidaknya ada bunga dan rerumputan liar yang tumbuh di sana. Aku tak akan pernah siap menyambut tahun yang baru sebelum kehadiranmu karena aku percaya air mata bisa membersihkan jiwa. Dan engkau matahari, tahanlah dulu sinarmu sampai pagi pertama di tahun yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar