Langit Desember yang
kelabu ini seharusnya menjatuhkan titik-titik air yang disebut hujan. Itu lebih
baik dibandingkan harus menahannya menjadi mendung dengan awan gelap yang
beronggok-onggok. Hal itu hanya akan menambah hawa panas di bumi saja. Padahal
aku sangat menunggu hujan, bahkan lebih dari sekedar menanti, aku
mengharapkannya dan mendambakannya supaya aku bisa menulis di jendela kaca
kamarku. Dan ketika suaranya yang deras memisahkan aku dari keramaian dunia,
aku akan membangun duniaku sendiri di bawah selimut dan di atas bantal. Dan tak
akan ada seorang pun yang menemukanku. Seperti Ariel yang terdiam di balik
hujan dan Billie Joe yang percaya bahwa hujan turun dari bintang.
Dan seperti setiap kali
hujan turun, aku akan mendengarkan musiknya—musik yang dimainkan oleh
tetes-tetesannya di atas tanah dan di atas atap. Aku pun akan merasa tentram
karena semua itu mengantarkanku ke masa-masa dari kisah hidupku yang berisikan
hal-hal yang indah-indah saja. Aku akan teringat masa kecilku, ketika aku
berjalan setengah melompat di atas aspal dengan kaki telanjang dan aspal itu
sangat hangat terasa di kulit telapak kakiku. Aku juga tak akan pernah
melupakan itu, bahwa bagaimana hujan membawa kembali kehidupan lewat benih apa
pun yang jatuh ke tanah dan menjadikannya tunas yang hijaunya membuat aku
merasa disambut hangat. Pohon-pohon menjenjangkan rantingnya ke mana-mana,
seolah ingin leluasa menari bersama hujan, serta rerumputan yang menjalari
tanah dan menjulangkan daun-daunnya, seakan ingin berpesta dengan hujan.
Ah, hujan, begitu
banyak yang bisa kuceritakan tentang kehadiranmu. Dan ketika aku berjalan di
dalam hujan, perasaanku terbebas dari kepenatan, berubah menjadi lapang dan
senang. Itulah salah satu ciri Desember dalam sepanjang ingatanku. Dan itulah
mengapa aku begitu mencintai natal—aku tak bisa membayangkan natal jatuh pada
musim-musim kemarau. Aku sangat berterima kasih pada Julius Caesar atau siapa
saja yang telah menetapkan penanggalan Masehi dan natal.
Tetapi apa gerangan
yang terjadi dengan Desemberku kali ini? Apa alam sedang bicara dalam bahasanya
sendiri? Payungku masih rapi di sudut kamar, berdebu.
Ah, hujan, turunlah.
Aku harus melepaskan semua beban, kekecewaan, putus asa, kegelisahan,
kerinduan, kemarahan, kelemahan, patah hati dan kesepian di akhir tahun ini.
Aku membutuhkanmu untuk membasahi ladang hatiku yang gersang dan kosong, agar
setidaknya ada bunga dan rerumputan liar yang tumbuh di sana. Aku tak akan
pernah siap menyambut tahun yang baru sebelum kehadiranmu karena aku percaya
air mata bisa membersihkan jiwa. Dan engkau matahari, tahanlah dulu sinarmu
sampai pagi pertama di tahun yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar