Semua ini
berawal dari mata kuliah Deutsch für speziellle Verwendung (DSV). Namun jauh
sebelumnya, memang ada benih-benih cinta budaya dalam diriku (kwkwkwkwkwkk)
yang berasal dari kebiasaan merantau (merantau...kosakata
angkatan berapa itu?).
Jadi ceritanya
tuh, aku selalu terjebak dalam suatu lingkungan, di mana di sana aku menjadi
asing, berbeda, baru, bahkan minor. Itulah yang memberiku jarak (Herr Uki, aku
ingat banget konsep V-Effekt: distanziert werden um betrachten zu kӧnnen.)
untuk bisa mengamati yang akhirnya membuatku menemukan adanya perbedaan. Dari
perbedaaan itu aku belajar menghargai, mengapresiasi, dan membenahi diri (ehem ehem...bahasa mahasiswanya keluar deh).
Dan sekaligus sadar : wah, kaya banget
Indonesia tuh!!!
Setelah tugas
demi tugas yang kami hadapi dalam mata kuliah DSV I dan DSV II (kami nggak capek kok, Pak...), mataku
terbuka dan mulai menyadari betapa kayanya alam Indonesia sekaligus betapa
rendahnya SDM nya (riskan). Dari dulu
aku memang sudah mengetahui ini (ditambah
lagi dengan ‘kampanye’ di buku sejarah dan PPKN di bangku sekolah) tapi
tingkat kesadaranku baru benar-benar ada sekarang. Setelah aku bertemu
teman-temanku dari berbagai asal peradaban, kami sering sharing tentang potensi-potensi
dan aset apa saja yang ada di daerah masing-masing. Kami sampai sulit
menginventariskannya saking banyak dan beragam jenis, misalnya potensi wisata
alam, bahari, budaya, pendidikan, kuliner, dsb. Aku hanya sebut yang
terkenal-terkenal saja ya, misalnya di Bali (ada sekitar satu juta artikel yang
ditulis tentang Bali di mesin pencari, so
alles klar.), di Lombok: pantai Senggingi, di Kalimantan ada kabupaten
Berau yang mulai mengekspos wisata baharinya yang terdiri dari Pulau Derawan,
Pulau Maratua, dan Pulau Kakaban , belum lagi Papua tak mau ketingalan dengan
Rajaampat-nya. Catatan: laut di Berau dan Rajaampat adalah surganya diving
kelas dunia!! Supaya tidak rasis, ini daerah asalku aku sebutkan paling
belakangan : Pulau Komodo (saat ini hewan komodo telah diakui sebagai 7
keajaiban dunia) dan Danau Kelimutu (tiga danau bersampingan yang memilki warna
yang berbeda-beda) di Flores.
Biar tulisanku
ini ada konfliknya (biar kaya dalam mata
kuliah Literatur : dalam Epik dan Drama harus ada konflik sebagai garam),
aku mau menyorot bahwa sayang sekali aset-aset pariwisata di Indonesia itu
banyak yang dikelola oleh orang asing. Aku tahu banget tuh siasat mereka (meskipun belum pernah mengalami) :
mereka menikahi penduduk pribumi untuk mendapatkan hak-hak layaknya WNI. Abisnya,
orang kita juga takut sih untuk berinvestasi (nah, kalo masuk kosakata ini, aku agak gelap, jadi kita batasi saja ya).
Temanku pernah bilang (lagi-lagi saat
kami sedang mengerjakan tugas DSV II) : Jangan
takut mengeluarkan uang dalam jumlah besar hari ini untuk hasil yang
akan kita terima 20 tahun yang akan datang.
Terus terang,
aku belum pernah mengunjungi semua tempat yang kusebutkan di atas tadi. Ke Bali
dan Lombok belum pernah, ke Kalimantan terlalu jauh, ke Papua apalagi!! Bahkan
aku yang pernah tinggal di Flores selama 3 tahun saja belum pernah ke Pulau
Komodo atau mengunjungi Danau Kelimutu (yang
sampai sekarang masih kusesalkan, kok aku cinta kasur banget yah?).
Doa-doakan saja kuliahku cepat selesai sehingga aku bisa ke semua tempat itu (selamat datang mimpi!!!) dan
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi pengetahuanku.
Masih bicara
tentang potensi wisata daerah asal. Sayangnya lagi, ada satu konflik (baca : masalah) lagi. Kalau kalian tanya
kenapa anak muda kurang terpikirkan untuk menghargai dan mengembangkan potensi wisata daerah asalnya,
aku tahu banget jawabannya (ijinkan aku
berteori.,..hehehe). Kalau seseorang tak pernah keluar dari daerahnya (baca : tempurung), ia akan merasa
dunianya hanya di sini. Dia akan berkata, “Ah,
Parangtritis doang, tiap hari juga aku ke sana.” atau “Males banget denger lagu tradisional, tiap hari juga mbahku nyanyinya
itu.” Atau “Memang tarian caci itu
hanya ada di Flores, trus kenapa? Mau diapain kalo faktanya begitu?”
Nah, inilah
gejala kurang apresiatif itu tadi. Sampai suatu hari nanti ketika ia keluar
dari daerahnya, bertemu dengan hal-hal positif di tempat baru yang bisa
menstimulusnya, ia baru akan memiliki perasaan posesif terhadap daerah asalnya
itu dan akhirnya menyadari kurangnya apresiasi dan kontribusi dia selama ini terhadap
potensi pariwisatanya.
Selesai teori,
sekarang praktekin yuk!
Merantau untuk
belajar banyak hal dari perbedaan itu memang bagus, tapi juga tak perlu
repot-repot keluar daerah dulu baru sadar kalo daerah sendiri juga punya
potensi yang butuh perhatian kita untuk diapresiasi, dijaga, dan dikembangkan.
Sippp? Start from here, now!
Oya, aku punya
mimpi. Impianku itu adalah memberikan kontribusi yang nyata untuk pariwisata di
daerah asalku. Juga, mengadakan perjalanan wisata antarpulau, bahkan
antarbenua!!! (Diaminin dong... Danke..)
Ketika proses pendidikan menghasilkan sebuah kesadaran baru yang konstruktif pada peserta didik, itulah moment yang selalu kami harapkan. (Iman)
BalasHapusterima kasih, Pak, sudah mau mampir.
Hapusterima kasih atas stimulus positif yang saya dapatkan selama mata kuliah DSV yang bapak ampu... saya yakin teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama.