Senin, 19 Maret 2012

Mata Kuliah DSV Tuh Sesuatu Banget Deh


Semua ini berawal dari mata kuliah Deutsch für speziellle Verwendung (DSV). Namun jauh sebelumnya, memang ada benih-benih cinta budaya dalam diriku (kwkwkwkwkwkk) yang berasal dari kebiasaan merantau (merantau...kosakata angkatan berapa itu?).
Jadi ceritanya tuh, aku selalu terjebak dalam suatu lingkungan, di mana di sana aku menjadi asing, berbeda, baru, bahkan minor. Itulah yang memberiku jarak (Herr Uki, aku ingat banget konsep V-Effekt: distanziert werden um betrachten zu kӧnnen.) untuk bisa mengamati yang akhirnya membuatku menemukan adanya perbedaan. Dari perbedaaan itu aku belajar menghargai, mengapresiasi, dan membenahi diri (ehem ehem...bahasa mahasiswanya keluar deh). Dan sekaligus sadar : wah, kaya banget Indonesia tuh!!!
Setelah tugas demi tugas yang kami hadapi dalam mata kuliah DSV I dan DSV II (kami nggak capek kok, Pak...), mataku terbuka dan mulai menyadari betapa kayanya alam Indonesia sekaligus betapa rendahnya SDM nya (riskan). Dari dulu aku memang sudah mengetahui ini (ditambah lagi dengan ‘kampanye’ di buku sejarah dan PPKN di bangku sekolah) tapi tingkat kesadaranku baru benar-benar ada sekarang. Setelah aku bertemu teman-temanku dari berbagai asal peradaban, kami sering sharing tentang potensi-potensi dan aset apa saja yang ada di daerah masing-masing. Kami sampai sulit menginventariskannya saking banyak dan beragam jenis, misalnya potensi wisata alam, bahari, budaya, pendidikan, kuliner, dsb. Aku hanya sebut yang terkenal-terkenal saja ya, misalnya di Bali (ada sekitar satu juta artikel yang ditulis tentang Bali di mesin pencari, so alles klar.), di Lombok: pantai Senggingi, di Kalimantan ada kabupaten Berau yang mulai mengekspos wisata baharinya yang terdiri dari Pulau Derawan, Pulau Maratua, dan Pulau Kakaban , belum lagi Papua tak mau ketingalan dengan Rajaampat-nya. Catatan: laut di Berau dan Rajaampat adalah surganya diving kelas dunia!! Supaya tidak rasis, ini daerah asalku aku sebutkan paling belakangan : Pulau Komodo (saat ini hewan komodo telah diakui sebagai 7 keajaiban dunia) dan Danau Kelimutu (tiga danau bersampingan yang memilki warna yang berbeda-beda) di Flores.




Biar tulisanku ini ada konfliknya (biar kaya dalam mata kuliah Literatur : dalam Epik dan Drama harus ada konflik sebagai garam), aku mau menyorot bahwa sayang sekali aset-aset pariwisata di Indonesia itu banyak yang dikelola oleh orang asing. Aku tahu banget tuh siasat mereka (meskipun belum pernah mengalami) : mereka menikahi penduduk pribumi untuk mendapatkan hak-hak layaknya WNI. Abisnya, orang kita juga takut sih untuk berinvestasi (nah, kalo masuk kosakata ini, aku agak gelap, jadi kita batasi saja ya). Temanku pernah bilang (lagi-lagi saat kami sedang mengerjakan tugas DSV II) : Jangan takut mengeluarkan uang dalam jumlah besar hari ini untuk hasil yang akan kita terima 20 tahun yang akan datang.
Terus terang, aku belum pernah mengunjungi semua tempat yang kusebutkan di atas tadi. Ke Bali dan Lombok belum pernah, ke Kalimantan terlalu jauh, ke Papua apalagi!! Bahkan aku yang pernah tinggal di Flores selama 3 tahun saja belum pernah ke Pulau Komodo atau mengunjungi Danau Kelimutu (yang sampai sekarang masih kusesalkan, kok aku cinta kasur banget yah?). Doa-doakan saja kuliahku cepat selesai sehingga aku bisa ke semua tempat itu (selamat datang mimpi!!!) dan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi pengetahuanku. 

Masih bicara tentang potensi wisata daerah asal. Sayangnya lagi, ada satu konflik (baca : masalah) lagi. Kalau kalian tanya kenapa anak muda kurang terpikirkan untuk menghargai dan  mengembangkan potensi wisata daerah asalnya, aku tahu banget jawabannya (ijinkan aku berteori.,..hehehe). Kalau seseorang tak pernah keluar dari daerahnya (baca : tempurung), ia akan merasa dunianya hanya di sini. Dia akan berkata, “Ah, Parangtritis doang, tiap hari juga aku ke sana.” atau “Males banget denger lagu tradisional, tiap hari juga mbahku nyanyinya itu.” Atau “Memang tarian caci itu hanya ada di Flores, trus kenapa? Mau diapain kalo faktanya begitu?”
Nah, inilah gejala kurang apresiatif itu tadi. Sampai suatu hari nanti ketika ia keluar dari daerahnya, bertemu dengan hal-hal positif di tempat baru yang bisa menstimulusnya, ia baru akan memiliki perasaan posesif terhadap daerah asalnya itu dan akhirnya menyadari kurangnya apresiasi dan kontribusi dia selama ini terhadap potensi pariwisatanya.
Selesai teori, sekarang praktekin yuk!
Merantau untuk belajar banyak hal dari perbedaan itu memang bagus, tapi juga tak perlu repot-repot keluar daerah dulu baru sadar kalo daerah sendiri juga punya potensi yang butuh perhatian kita untuk diapresiasi, dijaga, dan dikembangkan.
Sippp? Start from here, now!
Oya, aku punya mimpi. Impianku itu adalah memberikan kontribusi yang nyata untuk pariwisata di daerah asalku. Juga, mengadakan perjalanan wisata antarpulau, bahkan antarbenua!!! (Diaminin dong... Danke..)

2 komentar:

  1. Ketika proses pendidikan menghasilkan sebuah kesadaran baru yang konstruktif pada peserta didik, itulah moment yang selalu kami harapkan. (Iman)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, Pak, sudah mau mampir.
      terima kasih atas stimulus positif yang saya dapatkan selama mata kuliah DSV yang bapak ampu... saya yakin teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama.

      Hapus