Indonesia itu paket jumbo lengkap! Terdiri dari 18.000 pulau, kita memiliki ribuan dan ratusan ras, suku, etnik, bahasa daerah dan dialek yang berbeda-beda. Kenapa paket lengkap? Mulai dari hidung mancung-besar, mancung-ramping sampai pesek-besar, pesek-ramping ada, rambut lurus sampai keriting ada, rahang besar sampai sempit ada, bibir tipis sampai bibir tebal ada, sawo matang sampai setengah matang ada, putih pucat sampai putih langsat ada. Atau kuning langsat. Kulit gelap sampai gelap kopi ada banget.
Kita memang berbeda-beda. Tetapi satu???
Tapi kalian pasti tahu kualitas-kualitas fisik macam apa yang media televisi kita dambakan. Benar, selalu yang itu-itu saja. Saya tidak lihat satu pun pemain FTV yang berasal dari Papua dengan kualitas fisik khas Papua. Kalau pun ada dia akan memainkan peran pelawak yang konyol dan ada di layar kaca hanya untuk jadi bahan tertawaan. Sayang sekali. Padahal Indonesia itu negara kesatuan, tapi kita membiarkan saja televisi kita mengajarkan masyarakat nusantara tentang nilai-nilai yang salah, secara langsung dan tidak langsung—Nilai-nilai yang justru memecah-belahkan kita. Tapi pertanyaan saya: Emang benar kita ini merupakan negara kesatuan? Atau itu idealisme utopis belaka? Karena yang saya amati dalam prakteknya justru berat sebelah! Berat ke mana? Ke barat lah! Mau ke mana lagi?
Beberapa waktu lalu seorang artis
menghina etnik Papua sementara dia sendiri sedang tampil di televisi mengenakan
kostum etnis Papua. Ini penyangkalan NKRI atau sekedar kurangnya moral? Saya senang
bahwa dia akhirnya mendapat reaksi tegas dari warga Papua yang membuat si artis
yang malang minta maaf. Semoga dia sadari apa arti kata martabat, karena yang
dia hina itu Papua, setara dengan menghina keseluruhan bangsa Papua. Wow, cukup
berani si gadis kecil. Saya senang melihat kasus itu diceploskan oleh mulut
seorang artis yang mana kehidupannya selalu jadi sorot kamera, sehingga seluruh
Indonesia akhirnya belajar nilai moral lewat layar kaca: etnis lain juga punya
martabat, jangan asal ceplos!
Seperti berita yang dimuat oleh BBC
Indonesia tentang etnis tertentu yang tidak mendapat kesempatan ngekos di Yogakarta hanya karena mereka
berasal dari daerah X, Y, Z. Menurut kabar
angin karena warga lokal menciptakan stereotip tertentu tentang daerah
tersebut. Kalau memang mereka tidak
menyukai etnis atau daerah tertentu, apakah mereka memiliki alasan? Kalau memang
ada masalah, kenapa tidak diungkapkan? Sampai kapan segala sesuatu harus
dikubur? Menunggu busuk? Bukankah kita memiliki UU Nomor 40 tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Enis? Tapi kalau memang warga Yogyakarta
merasa benar, ya monggo, aspirasinya.
Supaya ke dua belah pihak puas. Itu kan
inti dari demokrasi! Yang ada mereka malah mingkem!
Kapan datang inisiatif dari politikus? Apakah mereka sebenarnya baca berita? Kok
diam saja?
Apa-apa Tabu
Saya melihat sebuah kecenderungan
ketika saya mulai angkat bicara tentang tema diskriminasi, orang-orang pada
bungkam. Diam. Bertingkah seolah tidak pernah tahu. Tidak pernah dengar, bahkan
seolah tidak pernah alami. Biasa, cari aman… Ah, itu mitos! Kata mereka. Saya bisa tilik ini dari perspktif
budaya kita: kita masyarakat yang suka menabukan banyak hal. Tabu. Tabu adalah
hobi kita. Tabu adalah selimut hangat kita yang melindungi kita dari rasa takut
di saat hujan deras, kilat menyambar, guntur bergemuruh. Ya! Masyarakat kita
suka dengan kata tabu. Apa-apa tabu. Dikit-dikit tabu. Tabu itu seperti selimut tebal
yang memisahkan mereka dari dunia luar, dari dunia fakta dan realita. Supaya
mereka tidak usah repot-repot lagi berpikir, supaya otak mereka beristirahat
saja yang nyenyak di bawah selimut hangat dan tebal. Dengan kata tabu tiba-tiba
apa pun bisa dijelaskan. Tinggal bilang saja, „Eh itu tabu loh!“ Perkara
pun dengan demikian selesai, orang tidak tanya lagi, pembicaraan ditutup,
diskusi bubar! Kalian mengerti maksud saya? Lama-lama rasanya seperti kata anu. Apa pun itu bisa kamu sebut pakai anu. Anu
bisa menggantikan banyak nama, banyak istilah, banyak kata kalau kamu tidak
tahu istilah sesuatu atau sedang tidak ingat apa namanya atau misalnya kamu ingin
meng-crypto-kan sesuatu, tinggal
bilang saja… anu! Kelar! Contoh : „Jangan
lupa beli bawang, kecap, merica, sama anu
ya!“ Semenjak kamu mengenal kata anu,
kamu tidak perlu lagi memiliki ingatan, pengetahuan dan daya pikir yang bagus,
karena segala sesuatu bisa kamu jelaskan secara praktis dengan sebuah anu. Sama kayak tabu!
Anak: „Mama, kenapa seorang ibu bisa hamil?“
Ibu: „Karena sang ayah dan sang ibu melakukan persetubuhan.“
Anak: „Apa itu persetubuhan?“
Ibu: „Jangan tanya itu, itu tabu!“
Anak: ….
Sayang sekali, anak yang cerdas dan
memiliki rasa ingin tahu yang besar di-hush pakai sebuah kata tabu. Selamat
tinggal ilmu pengetahuan! Si ibu lebih suka ada dalam zona selimutnya yang
nyaman, cari aman.
Kenapa sih, tabu? Bukankah semakin
sesuatu ditabukan, semakin manusia itu kehilangan rasio? Kehilangan minat
terhadap rasio, terhadap berpikir. Manusia jadi suka ambil jalan pintas: Ngapain repot-repot mikir apa itu, kan itu
tabu! Begitu juga dengan diskriminasi media, sampai kapan kita diam saja
dan menolak berpikir kritis? Sampai kapan kita membiarkan televisi membuat kita
merasa asing di negeri sendiri? Sampai seluruh warga NTT mem-bonding rambut mereka di salon karena mereka
tidak puas diri dan ingin terlihat seperti artis FTV? Karena teleivisi
mengajarkan mereka tentang nilai kecantikan yang salah: bahwa rambut lurus
adalah kecantikan mutlak sehingga orang-orang berambut keriting merasa low self-esteem lantas menyangkali
kenaturalan mereka.
Kearifan lokal tidak berarti membatasi integrasi.Malah sebaliknya! Justru membuka batas-batas geografi dan etnis supaya kita makin inisiatif menabrakkan diri dengan berbagai budaya agar kita semakin kenal siapa kita. Ada cerita lucu, waktu saya masih di Indonesia teman-teman saya bahkan mantan pacar saya yang berkebangsaan luar negeri bilang bahwa saya sangat tidak indo. Mereka melihat pola pikir saya yang kritis dan keberanian saya bicara sehingga mereka bilang begitu, sampai saya pun akhirnya percaya. Lantas 4 tahun yang lalu saya merantau ke Jerman dan bertubruk-tabrak budaya dengan warga dunia, membuat saya melihat betapa Indonesianya saya! Dari situ saya mulai melihat dan menimang, pengamatan saya bertahun-tahun di bidang budaya akhirnya terjawab. Saya akhirnya tahu kenapa orang Asia atau Indonesia menyandang gelar tertentu oleh orang barat.
Itu tadi, kearifan lokal tidak berarti
kita lantas hanya mau menerima yang sedaerah atau serupa dan sewarna saja, melainkan
proses penimbahan pengetahuan lewat cross-culture
supaya kita melihat budaya secara objektif. Supaya kita tidak pikir budaya
kitalah atau etnis kitalah atau warna kulit kitalah yang piling benar, baik,
atau bagus.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Ketika kuliah di Yogyakarta saya dan
teman-teman NTT saya sering ditertawai karena logat dan dialek kami. Mana lagi
kami tidak bisa melafalkan bunyi e,
karena kami hanya bisa é ala NTT. Ketika kami bicara dengan orang Jawa, kami tidak
menertawai logat mereka karena kami sudah sering dengar dari TV. Logat itu
sudah tidak asing lagi bagi kami sehingga kami bahkan merasa akrab dan justru
aneh untuk menertawai dialek daerah mereka. Saya memetik sebuah pola di sini:
tak kenal maka tak sayang. Teman-teman Jawa kami ini belum pernah nonton orang
NTT berbicara di TV, sehingga sekalinya kami buka mulut mereka merasa aneh. Kalau
pun di TV ada orang Indonesia Timur tampil, dia selalu kebagian peran pelawak,
seolah media mau bilang, itu sudah lumrah untuk menertawakan logat kami.
Sesuatu yang kita tidak kenal namanya
asing. Asing sering kita rasakan sebagai janggal. Kejanggalan kadang menggelitik
kita untuk menertawakan atau mengejek bahkan merendahkan. Saya tidak heran, Indonesia
itu terdiri dari sekian banyak pulau jadi orang-orang cenderung hanya bergaul
dengan manusia sejenisnya saja yang sesama pulau atau sesama daerah. Pertukaran
budaya itu belum masuk negara kita, sodara-sodara. Kita ini hitungannya masih ndeso, kita tidak masuk hitungan warga
dunia, melainkan warga pulau. Karena yang kita kenal itu-itu saja.
Si artis tadi yang saya ceritakan di
atas, terdengar seperti tidak punya teman atau kenalan orang Papua,
sehingga gampang saja dia ceploskan itu. Tanpa beban.
Saya memiliki teman dari berbagai
pulau, berbagai wana kulit dan agama, yang saya kenal baik secara pribadi.
Tidak pantas rasanya saya mengejek seseorang yang berlogat batak (ambil contoh),
karena saya benar-benar punya teman orang batak dan logat dia sudah akrab di
telinga saya. Jadi mau asing apanya lagi? Mau lucu apa lagi? Mau hina apanya
lagi? Dia teman saya, saya kenal dia beserta kebatakannya itu. Dan saya rasa itu
cool untuk stay cool: saya bicara logat NTT, dia jawab pakai logat Batak. Itulah inti NKRI! Bhinneka tunggal ika! Kalau
ada yang menertawakan dan mengejek logat dan dialek daerah seseorang hanya
karena itu terdengar asing di telinganya, kalian tahu dia itu apa: ndeso. Pengejekan itu bahkan penyangkalan akan arti Indonesia Raya:
Bagi dia Indnesia itu bukan Sabang sampai Merauke, melainkan rumah saya, rumah
nenek saya, rumah tetanga saya. Titik. Sampai kapan kita mau cuci tangan?
Saya anak perantau dari Pulau Timor, selama
13 tahun terakhir ini saya hidup dalam „pengasingan“. Saya melewati 9 tahun sekolah-kuliah-kerja-hidup
di beberapa pulau, beberapa propinsi di Indonesia dan bersimpang siur dengan
banyak warga lokal dan perantau dari
berbagai pelosok Tanah Air. Saya melihat,
mendengar, merasakan dan mengalami diskriminasi hampir setiap hari dalam 9
tahun itu. Entah itu karena jeis kelamin saya, daerah asal saya, etnik saya, rupa
dan tinggi tubuh-wajah saya, agama saya, bahasa daerah dan dialek saya, sampai
ke adat budaya saya!
Sampai kapan kita mau cuci tangan? Sampai
kapan kita balik punggung? Keluarlah dari selimut tabu dan bicarakan hal-hal
yang sudah layak dikeluarkan dari koper berdebu dan dibilas pakai ilmu
pengetahuan lewat diskusi terbuka. Dan itulah alasan saya menulis artikel ini.
Saya bisa rasakan itu: orang-orang diam saja dengan tema ini, memangnya kalian
nyaman berendam dalam kubangan diskriminasi? Jaman sudah berganti dan jikalau kita mau keluar dari
selimut tabu kita itu tadi, sebenarnya ada banyak literatur tentang ilmu
pengetahuan yang bisa kita baca. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak
bisa dijelaskan kecuali eksistensi supra: Tuhan. Sayang kalau kita membungkus
ilmu pengetahuan pakai karung tabu lalu dikubur supaya orang tidak tahu.
Kasihan! Kapan generasi kita maju kalau kita hanya mingkem-mingkem manis di
balik lipstik?
Peran Guru
Di sekolah-sekolah di Indonesia
diajarkan PPKN, tetapi melulu yang muncul di soal ulangan:
Kalau kalian melihat seorang nenek tua ingin menyeberangi jalanan, apa
yang kalian lakukan sebagai anak yang berbudi pekerti?
a.
Membiarkan saja si nenek menyeberang
sendiri
b.
Menawarkan bantuan kepada si nenek untuk
dituntun ke seberang jalan
c.
A dan C salah.
Di kelas Ani ada siswa baru dari NTT. Dia berbicara dengan dialek daerahnya
yang sangat khas. Ketika dia memperkenalkan diri di kelas siswa-siswa
menertawakan. Yang harus Ani lakukan sebagai anak yang berbudi pekerti adalah?
a.
Membiarkan saja teman-temannya
menertawakan.
b.
Ikut tertawa.
c. Menegur teman-temannya karena itu
salah. Kita harus belajar saling menghargai.
nice thoughts bebe my brave girl, Indonesia needs more persons like you..
BalasHapusTerimakasih bebe, untuk visit dan feedbacknya. And it Needs much much more like you.
HapusSometimes, distinction is perceived as an intolerant issue which leads to people embarrassement of being Indonesian. Your writing is representing my personal feeling about Indonesia today. I am so delighted to know you, Mona. Thank you for such an inspiring thought.
BalasHapusThank you Teteh, for visiting my blog and giving me a Feedback. We do Need more speak-ups and discussions About These Topics. We cannot let the discrimination go on.
HapusKeep rockin teh :)
😍
BalasHapusHallo Deo, i hope you like my article :)
Hapus