Jogja, 00.29, 17 juni 2012
Kepalaku mengapung-ngapung ke titik terbodoh sampai aku tak
tahu lagi sedang apa aku di sini. Aku hampir tak bisa membedakan mana logika,
mana perasaan sementara. Kuangkat telepon dan mendial kontaknya. Pada bunyi ke
tiga ada yang mengangkatnya. Kumatikan tanpa menunggu suara halo dari sana.
Musik masih meraung keras dari speakerku menemani hape yang terpelanting ke
atas bantal. Rambutku terurai di balik cahaya 5 watt lampu kamarku. Sekepul
asap sarat nikotin merasuki helai-helainya hingga harumnya sewangi tembakau
kretek. Aku memang pemberontak, tapi yang berotak, aku mengingatkan diriku
seperti itu berkali-kali agar aku tak keluar dari garis prinsip.
Aku yakin, sebentar lagi ibu kos akan datang menggedor-gedor
pintu kamarku. Atau yang lebih ekstrim, ia mengajak serta pak RT. Kuharap ia
mengerti arti kata GALAU.
Aku menggerakkan kursor, mencari lagu itu. Lagu yang bisa
mengalahkan teriakan bertenaga nuklir di otak kiriku. Atau lagu yang bisa
mengingatkan aku akan kenangan bersama orang itu yang sepenggal-sepenggal
liriknya masih terekam di otak kananku.
Tapi di atas semua itu, yang paling ingin kucari saat ini
adalah logikaku yang meleleh seiring waktu.
Garis yang dialiri darah itu memudar. Anehnya, lama-lama aku
malah merasa sebagai yang bersalah. Ketika itulah aku menyadari perasaan ini
hanya sementara. Perasaan yang hanya datang di tengah malam sepi dan sialan
seperti ini. Besok pagi, aku yakin, hatiku yang angkuh dan tengkukku yang tegar
akan berseru “Memangnya itu salahku?”
Jauh di suatu tempat dalam keyakinanku, aku masih percaya
semua manusia akan diampuni pada hari pengampunan.