Ketika kecil
saya suka melukis. Karena melihat bakat menggambar saya, ibu saya membelikan
cat air dan perlengkapannya. Saya bahkan sempat memenangkan lomba melukis
tingkat kabupaten. Tidak lama kemudian saya jatuh cinta dengan menjahit.
Lagi-lagi terinspirasi dari ibu saya yang dulu sempat menekuni bidang garmen.
Saya sempat menjahit pakaian Barbie, membuat sebuah boneka dan menempel nama
saya di bantal kepala. Di saat yang bersamaan saya suka menggunting-gunting kertas,
melipat, membuat hiasan, tempat pensil atau apa pun itu. Singkatnya basteln (bahasa Jerman untuk aktivitas
menggunting-melipat-menempel). Kalau Anda punya anak putri seperti ini
bayangkan seperti apa rumahnya? Berantakan. Jelas.
Ibu saya
sering marah-marah karena sebelum menyelesaikan satu “proyek”, saya sudah
membanjiri diri saya dengan “proyek” lainnya. Belum selesai melukis, saya masuk
kamar dan gunting majalah sana-sini.
Belum kelar rajutan saya, saya sudah minta bantuan ibu saya untuk
mengajarkan saya nyanyi. Oh ya, by the
way ibu saya pintar nyanyi. Sebenarnya sih
dia bisa banyak hal—dengan sangat professional malah— dan “sayangnya” saya
mewarisi itu. Tapi ibu saya tidak memahami kenapa saya suka tidak tuntas
mengerjakan sesuatu. Dia selalu bilang, “Mona, kamu itu tidak telaten.” Dan
karena alasan ini, beliau pernah bilang, “Kalau saya ajarkan kau nyanyi, nanti
baru sampai nada mi kau sudah bosan.
Kalau mau belajar sama mama harus tuntas, tidak main bosan-bosanan!” Mama saya bukannya sedang jahat, dia hanya
sedang bingung saja—layaknya orang tua “normal”—barangkali pikirnya “Ini anak
kalau tipenya begini, jangan-jangan sekolah pun tidak akan tuntas.” Itulah
sebagian gambaran masa kecil saya. Saya punya beraneka ragam hobi. Mulai dari
indoor (basteln) sampai outdoor: memanjat
pohon, menangkap kupu-kupu, jalan-jalan ke hutan, memancing… Saya sampai tidak
bisa bilang, saya suka mana lebih daripada yang mana.
Hobi adalah
benih dari cita-cita. Karena sejak kecil gemar membaca buku, saya sangat ingin
menjadi penulis buku. Tapi cita-cita pertama saya justru menjadi pembaca
berita. Masih ingat Desi Anwar? Ya, yang itu, acara berita Nuansa Pagi! Siapa
yang tidak ingat kharismanya saat membaca berita. Saya dan sang ayah yang tidak
pernah alpa setiap pagi menonton acara di RCTI itu, sangat memuja pesona smart
ala Desi Anwar, sampai-sampai sang ayah sempat sangat berharap saya menjadi
seperti sang bintang jurnalistik idola. Di masa sekolah dasar saya tiba-tiba
ingin menjadi polwan, lalu pernah ingin jadi dokter… bahkan astronot, yang mana
sempat menjadi karya lukis saya. Hhh,
saya sendiri kadang pusing jadi pribadi yang banyak maunya.
Sampai di
sini kalian akan mulai mengambil satu kesimpulan sederhana: saya orang yang
tidak fokus terhadap satu hal, saya tidak konsisten, tidak komitmen, saya suka
mengganti-ganti. Tapi saya mendefinisikan diri saya dalam kosakata yang nadanya
positif: saya hetero, saya adalah garis zig zag, saya dinamis, saya tidak
statis, saya eksploratif, saya adaptif, saya fleksibel terhadap perubahan, saya
kreatif, variatif, saya lebih dari 50 gradasi abu-abu—bukan berarti saya tidak
pegang prinsip. Prinsip saya itu tadi: mobilitas. Tapi jujur saja, saya
terang-terangan akan menjauhi rutinitas, menghindari monotonitas dengan alasan
itu penjara, perangkap atau takdir.
Secara
kebetulan saya membaca di internet sebuah referensi buku psikologi yang ditulis
oleh Barbara Sher, “Refuse To Choose” (2006). Buku ini memperkuat keyakinan
saya bahwa saya bukannya “tidak normal”, saya hanyalah spesies yang belum
dideteksi oleh dunia. Jadi, dalam buku ini, Sher membagi jenis manusia ke dalam
jenis The Divers dan The Scanners. Penjelasannya seperti di
bawah ini.
The Divers
The Divers adalah tipe yang perfeksionis. Ciri
mereka bisa dijumpai pada para musisi, ilmuwan, atlet, penari, programmer. Seperti arti namanya,
Penyelam, mereka akan menyelam sampai ke dasar, hingga menemukan keutuhan dari
bidang yang mereka tekuni. Mereka ulet, setia, tekun di suatu bidang yang sama,
hingga kemampuan mereka di bidang itu tajam terasah. Mereka adalah expert di bidang tertentu dan tidak akan
puas jika hanya disuguhkan “permukaan” saja. Mereka terkadang juga hanya
memiliki satu atau dua long-life hobi
yang mana mereka jalankan dengan telaten. Menurut Sher, mayoritas populasi di dunia
adalah tipe Divers.
The Scanners
“To scanners, the world is like a big
candy store full of fascinating opportunities, and all they want is to reach
out and stuff their pockets. It sounds wonderful, doesn’t it? The problem is,
Scanners are starving in the candy store.” tulis Barbara dalam situs http://www.getmotivation.com/articlelib/articles/barbara_sher_scanner.html
Terkait dengan tema ini, sebuah situs pernah memaparkan, Scanners tidak takut
gagal, Scanners hanya takut bosan.
Mereka mencoba ini itu, layaknya si tukang cemil: banyak makan tapi tidak akan merasa
kenyang yang sesungguhnya.
Profesi The scanners biasanya pustakawan, filmmakers, guru, manajer, dsj. Jika
kita bandingkan terhadap Divers, Scanners cenderung menyentuh sesuatu di
permukaan saja. Mereka menyukai banyak hal, bahkan dalam waktu yang bersamaan.
Mereka tidak pernah takut mencoba, justru mereka takut untuk tidak mencoba hal
baru. Kenapa? Mereka takut missing all
that fun!
Jika kamu hampir selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan "Ya", kamu bisa masuk dalam golongan The Scanners.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar