Peran Sinetron
Ketika hampir
beranjak remaja, saya punya sebuah sinetron favorit: Bawang Merah Bawang Putih. Jujur saja, saya sering menyukai peran
antagonis (“si jahat”, bahasa emak-emaknya). Mereka biasanya diperankan lincah,
gesit, banyak ide, agresif, berani katakan “iya” dan “tidak”, blak-blakan tentang
pendapat, optimis (yang mana sering digambarkan ekstrim oleh sutradara:
ambisius). Dalam sinetron ini, siapa lagi kalau bukan si Bawang Merah. Dari
namanya saja, “Merah”, asosiasi di kepala kita pasti langsung menuju ke bara
api atau bahkan lidah api yang tajam nan runcing pula menjilat-jilat ke awang-awang.
Pokoknya warna merah tidak pernah menyimbolkan yang lemah gemulai lah… seperti stereotip
para protagonis (“pemeran utama” alias “si baik”, menurut bahasa emak-emak
keranjingan sinteron).
Tokoh protagonis
di sinetron-sinetron Indonesia dari waktu ke waktu sama saja.
stereotipnya:
-
cantik
(supaya enak dilihat dan penonton segera memberi simpati/perhatian lebih
kepadanya)
-
lemah
gemulai (karena wanita diidentikan dengan bunga, secara sosial tidak “diijinkan” untuk aktif dan sportif)
-
rada
lamban (karena agresivitas diidentikan dengan sesuatu yang negatif)
-
bimbang
(apa-apa harus tanya teman; tidak bisa ambil keputusan sendiri)
-
rada
bodoh (berpikir kritis adalah pantangan bagi tokoh ini. Coba lihat Putri Salju
yang dengan cerobohnya memakan apel dari orang asing)
-
sangat
tergantung (entah terhadap nasib atau “sang pangeran”)
-
menunggu
diselamatkan (oleh ibu peri atau “sang pangeran”)
-
serba
takut: takut berbuat/berucap/bertutur salah, takut berdosa, takut berubah, dsb
- cenderung mengasihani diri sendiri (clueless … tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu sampai pangeran impian datang dengan kuda putihnya)
- cenderung mengasihani diri sendiri (clueless … tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu sampai pangeran impian datang dengan kuda putihnya)
-
gampang
meneteskan air mata (dilambangkan melankoli kesucian jiwa yang murni. Padahal
saya lihatnya sebagai sebuah ketidakmatangan mental! Ketegaran
hati hampir-hampir diartikan sebagai jahat)
source : http://www.mesra.net/forum/lofiversion/index.php/t54938-250.html
Saya selalu
melihat fenomena ini sebagai pembodohan kaum perempuan (dan masyarakat pada
umumnya!). Akhirnya kita sebagai perempuan selalu ingin mengidentikkan diri
dengan si pemeran utama agar disukai oleh orang lain. Dan bagi lawan jenis,
atau masyarakat pada umumnya, mereka juga mengharapkan supaya si perempuan
berciri demikian! Ya seperti si pemeran protagonis tadi. Akhirnya keorisinilan kita terpaksa harus kita
lupakan. Contohnya, kita sebenarnya bisa mengangkat kardus-kardus kita sendiri
ketika pindahan, namun karena terdoktrin idealismeseorang tuan potrin yang kita
tonton di televisi, akhirnya kita harus meminta bantuan pacar untuk
melaksanakannya. Padahal kita sebenarnya bisa. Siapa sih, yang kulitnya serta merta jadi keriput hanya karena angkat-angkat
kardus? Atau yang harga dirinya langsung ambruk?! Takut amat…
Berbahayanya,
masyarakat kita banyak yang mengeyam “pendidikan” dari sinetron. (Coba saja
bikin presensi seperti di kelas, mana ada hari yang bolong karena absensi di
depan TV?!) Tidak heran jika bullying
semakin mewabah di sekolah. Karena anak-anak yang menonton sinetron, mengerti
secara harafiah saja. Mereka tahunya:
ü gendut berarti jelek,
ü berkulit hitam/berambut keriting
berarti jadi bahan lelucuan,
ü pria kemayu berarti banci, perlu di-bully
ü cewek tomboy berarti disegani/di-bully juga
ü adanya julukan anak rumahan/anak mami
dsb (karena sebagai kaum adam harus berani, agresif, dst)
Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara: Ketidakadilan Gender
source http://www.clipartkid.com/step-sister-cliparts/
Ada masih
banyak lagi contoh-contoh bully yang basisnya
sinetronis banget di dunia nyata ini.
Tren stereotip peran dalam sinetron ini memiliki sejarah peradabannya yang
panjang. Mulai dari perbedaan jenis kelamin yang ujung-ujungnya melahirkan
standar-standar tertentu, sampai dongeng Grimm
Bersaudara yang sampai hari ini masyarakat
kita baca secara membabi buta tanpa berpikir kritis. Ambil contoh Cinderella: lemah gemulai, boro-boro memperjuangkan
nasib untuk keluar dari cengkraman si ibu tiri, dia malah menunggu diselamatkan
oleh pangeran! Sebagai pelopor dongeng sedunia, Grimm Bersaudara telah
menginvestasikan banyak stereotip gender dan tokoh protagonis dalam
karya-karyanya. Sayangnya, populernya berabad-abad! Kembali ke sinteron Bawang
Merah Bawang Putih. Mirip sekali kan dengan pola yang dipopulerkan Grimm Bersaudara: gadis lemah yang dijajah si ibu dan saudara tiri.
(Inilah salah satu alasan kenapa saya justru tidak tertarik dengan para lakon utama. Saya memiliki banyak ciri dari karakter yang dijubahkan ke si tokoh antagonis. Saya gesit, lincah, tahu apa yang saya mau dan butuh, mandiri, optimis, dst—dan saya tidak menemukan ada yang salah dengan hal ini (justru sebaliknya!)).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar