Pagi ini saya
berjuang bangkit dari pekuburan saya (baca: tempat tidur) untuk merangkak ke
kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa meter dari kamar saya. Saya teringat
bahwa hari ini adalah Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus Kristus. Jujur saja dengan
setengah hati saya bersiap-siap ke gereja karena saya memikirkan sebuah kemungkinan
yang jauh lebih menarik : bersepeda ke bandara Adi Sucipto yang selama ini
sudah saya rencanakan. Karena saya berpikir, meskipun ke bandara artinya saya
harus menempuh perjalanan 5 KM dengan napas ngos-ngosan dan keringat
bercucuran, namun setidaknya itu jauh lebih menyenangkan daripada sekedar duduk
manis di bangku kapela dan mendengarkan khotbah pastor.
Namun kaki saya
membawa saya ke sana juga akhirnya, Kapela St. R. Bellarminus (Sanatha Dharma).
7.10 saya sudah memarkir sepeda ajaib saya di parkiran kapela. Kapela mungil nan
cantik yang letaknya 500 M dari kos saya itu tampaknya sudah hampir penuh.
Untunglah bangku langganan saya, bangku kiri paling depan, belum. Saya datang pada waktu yang sangat baik.
Dandanan yang rapi memaksa saya untuk berlaku manis dan menahan ‘tingkah autis’
saya yang kadang-kadang secara tidak sadar muncul.
Misa pun
berlangsung dan sampailah pada bagian yang paling saya sukai sejak kecil :
bagian khotbah (hanya saja tidak jarang
seorang pastor berkhotbah ngawur atau asal-asalan sehingga tidak menginspirasi
umat!). Oya, lupa bilang kalau romo yang membawa misa beda dari biasanya,
saya baru melihatnya. Dia membawakan khotbah yang benar-benar membuat saya
menyesal sudah sempat berencana untuk menghindari misa yang sangat berharga
pagi hari ini.
Khotbahnya begini:
Ketika
saya masih muda, itu berarti empat
belas tahun yang lalu, pada tahun 1998, Indonesia sedang mengalami
krisis besar-besaran. Tepatnya tanggal 2 Mei, kami para mahasiswa
berkumpul di kampus UNJ. Jumlah kami ribuan, laki-laki dan perempuan. Kami berencana untuk melakukan demonstrasi
ke jalan-jalan di luar kampus padahal hal itu tidak mungkin sekali pada masa
regim Suharto itu. Karena itu kami semua ragu-ragu. Lalu datanglah seorang
teman kami yang pintar berpidato. Dia berdiri di podium di tengah-tengah kami
semua dan mulai membakar semangat kami dengan pidato yang kurang lebih seperti
ini : “Teman-teman, hari ini kita akan menjadi laki-laki dan perempuan. Selama
ini kita anak kecil. Dan setelah kita menjadi laki-laki dan perempuan, kita
akan keluar dari gerbang kampus, kita akan menghadapi dunia.”Lalu
kami pun keluar dari lingkungan kampus, berdemonstrasi di jalanan yang sudah
dijaga oleh polisi dan tentara. Alhasil ada yang dipukuli dan ditendang masuk
ke dalam got dan segala macam resiko lainnya. Itulah yang harus kami hadapi
karena selama ini kami hanya berani di balik tembok-tembok kampus, kami merasa
nyaman di sana. Seperti itulah kebanyakan orang, ia hanya mau berdiam di tempat
di mana ia merasa aman, termasuk bergaul dengan orang-orang yang mana dirasanya
aman: hanya mau bergaul dengan orang seagama, hanya mau bergaul dengan orang
sekampus, hanya mau bergaul dengan orang yang warna kulitnya sama dengan dia,
yang bentuk rambutnya sama dengan dia, dsb. Orang-orang seperti itu hanya mau
cari aman dan tidak memiliki keberanian
untuk menghadapi dunia. Kita terperangkap dalam dinding kita masing-masing,
sama seperti kepompong, yang kerjanya hanya makan dan tidur. Sering kali kita
lebih meilih menjadi kepompong itu daripada menjadi kupu-kupu yang terbang ke
sana ke mari mencari makanan dan melihat dunia. Ada juga tipe orang yang sudah
berusaha, tapi ketika ia mengalami patah semangat, ia cenderung tidak mau
berusaha lagi. Itu sama saja seperti sudah menjadi kupu-kupu tapi masuk lagi ke
dalam bungkusan kepompong.
Beranilah
untuk menerima utusan. Ketika kita dikejar, itulah resikonya mewartakan injil.
Bergabunglah dengan kelompok yang dikejar itu, jangan bergabung dengan kelompok
yang mengejar. Memang akan ada resikonya, tapi juga buah manis yang akan kita
petik. Setelah demonstrasi kami itu, tidak ada lagi mahasiswa yang hanya berani
berdemonstrasi di dalam kampus saja, mereka jadi berani untuk keluar. Dan puncaknya adalah
runtuhnya regim Suharto.
Itulah khotbah romo yang membuat saya begitu terkesima, dan di akhir
khotbahnya ia menambahkan dengan sedikit berguyon,
“Beberapa
waktu lalu ada spanduk di kampus S1 yang bertuliskan slogan MUDA, KREATIF, TERBUKA.Saya rasa slogan
itu sudah bagus tapi kalau saya bandingkan dengan slogan di spanduk mahasiswa
S2, slogan mereka lebih berani dan membakar,
tulisannya begini : KITA HARUS MUDA,
BANGGA, DAN BERBAHAYA.”
Sepertinya romo baru ini sengaja diutus oleh Tuhan untuk memimpin misa pagi ini supaya orang-orang sejenis saya dan Dreamers sekalian bisa tersadarkan akan zona nyaman kita yang sebenarnya hanya membuat kita sekerdil katak dalam tempurung.
Sepertinya romo baru ini sengaja diutus oleh Tuhan untuk memimpin misa pagi ini supaya orang-orang sejenis saya dan Dreamers sekalian bisa tersadarkan akan zona nyaman kita yang sebenarnya hanya membuat kita sekerdil katak dalam tempurung.
terimakasih Tuhan. Terima kasih, Romo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar